SANDAL JEPIT


Dasar penilaian manusia di masyarakat memang tidak lepas dari yang namanya penampilan. Walaupun ada pepatah yang mengatakan ‘Don’t judge the book by its cover’ yang artinya jangan menilai buku dari sampulnya, tetapi tidak dapat dipungkiri kalau penampilan memang berperan penting dan diutamakan oleh kebanyakan orang. Contohnya saja dalam melamar suatu pekerjaan atau pada saat interview, tentu AWAL penilaian seorang calon karyawan itu umumnya diberikan berdasarkan dari penampilannya, mulai dari tata rias, cara berpakaian dan lain sebagainya. Hal itulah yang nantinya akan menentukan keputusan selanjutnya (masuk kriteria atau tidak), kecuali memang jika calon karyawan tersebut memang benar-benar ahli, berbakat, dan sangat dibutuhkan. Kemudian mengenai penampilan, sering juga kita temui beberapa catatan kaki di sebuah undangan seminar-seminar, acara talk show ataupun acara-acara resmi lainnya baik keagamaan maupun yang non keagamaan, yang mengatakan kepada pengunjung untuk memakai pakaian yang rapih, sopan, dan tidak lupa di situ juga tertera tidak mengenakan sandal jepit. Lalu apakah ada yang salah dengan sandal jepit?

Penulis sendiri adalah orang yang agak cuek dalam berpenampilan dan bahkan terkadang ekstrim (berpakaian sederhana mungkin, tak peduli apapun acaranya). Walaupun begitu bukan berarti penulis tidak bisa berpakaian rapih dan sopan, hanya terkadang penulis lebih memilih berpakaian yang nyaman daripada memakai sesuatu yang wah, keren, atau modis tapi malah membuat diri penulis kurang merasa nyaman. Beberapa waktu lalu penulis harus menghadiri sebuah seminar. Kebetulan saat itu sehabis pulang buka stan pengumpulan dana, penulis tidak punya waktu untuk pulang dan berganti pakaian. Lagi pula jika harus pulang bolak-balik dan akan menghabiskan waktu, tenaga serta ongkos perjalanan, penulis pikir akan lebih efektif jika langsung menuju tempat seminar. Jadi, dengan berpakaian seadanya dan beralaskan kaki sandal jepit, penulis pun akhirnya berangkat ke seminar itu dengan seorang teman. Sesampainya di tempat seminar, penulis disambut dengan hangat dan dipersilakan masuk, bahkan diantar sampai tempat duduk yang posisinya strategis. Penulis merasa beruntung, walaupun bukan tamu undangan khusus atau VIP, penulis dapat duduk tak jauh dari panggung. Bagaimana tidak, panitia yang mengantarkan itu adalah teman penulis. Seminar itu berlangsung dengan sangat luar biasa, bahkan penulis sempat menanyakan beberapa buah pertanyaan kepada para pembicara, dan mungkin saat itulah bisa dikatakan secara tidak langsung penulis sudah menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung yang ada diruangan itu. Pada saat seminar hampir berakhir, teman penulis yang juga panitia acara ini menghampiri penulis. Kemudian, secara langsung ia menegur penulis dengan halus, ia bilang “Lain kali jangan pakai sandal jepit ya!” Wah tanpa bertanya terlebih dahulu alasannya penulis sudah mendapatkan memo merah dari panitia, yang untungnya masih teman penulis sendiri. Tapi akhirnya setelah mendengarkan penjelasan dari penulis, si panitia ini pun minta maaf, karena sebenarnya dia pun tidak bermaksud untuk menegur penulis, dan ternyata ada dari pengunjung lain yang mempertanyakan kepadanya, kenapa orang itu (penulis) pakai sandal jepit kok boleh masuk! Dengan segera penulis membaca catatan kaki yang tertulis di undangan yang baru saja diberikan hari itu juga, oh ternyata tertera catatan kecil dilarang pakai sandai jepit. Lalu ada apa dengan sandal jepit!?

Sebelum kejadian ini pun, penulis sering sekali mendapatkan kritikan dari beberapa orang teman mengenai masalah sandal jepit. Ada dari mereka yang berkata, kalau sandal jepit itu tak layak dipakai untuk berpergian, cocoknya buat ke toilet. Dia bahkan menganjurkan penulis untuk tidak memakai sandal jepit itu lagi. Lalu dari orangtua penulis sendiri pun, sering memberikan nasihat untuk tidak memakai sandal jepit, dengan alasan yang kurang lebih sama, yaitu tidak bagus buat berpergian. Memang setiap saran dan kritikan yang diberikan tidaklah salah, malahan hal tersebut merupakan wujud dari kepedulian mereka. Akan tetapi, apa ada yang salah dengan sandal jepit?!

Kalau Anda berpendapat memakai sandal jepit modelnya tidak keren atau tidak bagus, mungkin Anda benar. Kalau Anda berpendapat bahwa memakai sandal jepit di acara-acara resmi tidak pas dengan penampilan Anda, mungkin pendapat Anda benar menurut Anda. Kalau dikatakan bahwa sandal jepit tidak sesuai dengan mode zaman sekarang, kemungkinan juga memang benar. Tetapi kalau Anda bilang memakai sandal jepit itu tidak sopan, Anda salah besar. Apakah batas kesopanan seseorang dinilai dari sandal jepit!? Lagi pula kalau dilihat dari asal mula dan manfaat sandal jepit itu sendiri, apalah artinya beralas kaki bagus sekali pun, toh dasar tujuan dan manfaat kegunaannya sama. Zaman dahulu sebelum munculnya alas kaki bagus, bermodel, dan berharga mahal seperti sekarang ini, tentu sandal jepit yang baru pertama kali diketemukan amatlah populer dikalangan masyarakat pada saat itu. Tetapi di sini kita tidak akan berbicara mengenai sejarah sandal jepit dan sebagainya, apalagi membicarakan kesalahan saya perihal tak sengaja memakai sandal jepit di acara seminar. Akan tetapi, mari kita perhatikan bagaimana cara kita memandang dan menilai sesuatu. Terkadang kita terlalu berpikir picik terhadap sesuatu, kita terlalu mengutamakan suara yang terbanyak adalah suara yang paling baik dan benar. Tradisi yang turun-temurun adalah yang paling baik dan benar. Gaya hidup populer yang sedang digandrungi adalah yang paling baik dan benar. Apa kata orang pintar, terkenal, kaya raya, berwibawa, atau berpengaruh adalah yang paling baik dan benar. Kalau kita menilai sesuatu berdasarkan itu semua, terlebih lagi berdasarkan penampilan, kita tidak akan pernah tahu dan mengerti akan kebenaran yang sesungguhnya.

Buddha Gautama sendiri pernah berkata kepada Kaum Kalama mengenai bagaimana sesuatu itu dianggap benar, Buddha berkata :

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan wahyu atau pemaparan,

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan tradisi turun temurun,

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan kabar angin,

“Jangan percaya kepada apapun karena hal itu sesuai dengan kitab-kitab suci,

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan logika,

“Jangan percaya kepada apapun karena sekilas hal itu tampak benar,

“Jangan percaya kepada apapun hanya melalui alasan yang masuk akal

“Jangan percaya kepada apapun karena disokong sejumlah materi

“Jangan percaya kepada apapun karena tampaknya demikianlah yang akan terjadi

“Jangan percaya kepada apapun hanya karena berpikir orang itu adalah petapa yang dihormati. Namun, bila kalian sendiri tahu bahwa sesuatu itu, tidak pantas untuk dilakukan, tercela dan dikecam oleh para bijaksana, bila hal-hal itu dilakukan dan diupayakan akan menuntun menuju kemudaratan (tidak baik atau merugikan) serta penderitaan, maka tinggalkanlah hal-hal itu.”

Ini berarti untuk mengetahui kebenaran sesungguhnya, kita jangan mudah percaya pada apa pun (termasuk ucapan saya) sebelum membuktikan terlebih dahulu kebenarannya itu secara bijaksana, (Ehipassiko) datang, lihat dan buktikan.
Maksud dari ehipassiko itu sendiri mengajarkan kita untuk tidak memandang dari satu sisi saja. Seperti halnya pengunjung dan panitia seminar yang mempersoalkan masalah sandal jepit. Kalau Anda menilai orang yang memakai sandal jepit tidak sopan, berdasarkan karena sandal jepit sehari-harinya digunakan untuk ke toilet, Anda sudah memandang dari satu sisi. Kalau Anda berpikir orang yang memakai sandal jepit tidak sopan berdasarkan karena nilai sandal jepit di mata mode, penampilan, gaya hidup zaman sekarang dikatakan tidak layak untuk dipakai ke tempat-tempat resmi atau mewah, Anda juga hanya memandang dari satu sisi. Lalu, jika Anda juga menilai orang yang memakai sandal jepit tidak sopan berdasarkan karena memang kebanyakan orang berkata dan berpendapat demikian, berarti Anda pun hanya memandang dari satu sisi saja.

Kalau Anda memandang dan menilai dari berbagai sisi, mungkin Anda tidak akan pernah berpikir kalau seseorang yang memakai sandal jepit dalam seminar atau acara resmi lainnya tidaklah sopan. Karena tentunya Anda juga akan melihat hal tersebut dari sisi lainnya, dari sisi yang berbeda yaitu dari segi manfaat dan kegunaan alas kaki itu sendiri, memandang dari segi alasannya, atau bahkan yang lebih ekstrim lagi Anda akan melihat dari segi sejarah dimana manusia awalnya tidak beralas kaki, dan kalau sudah begitu apalah artinya sepasang alas kaki!?

Janganlah menilai buku dari sampulnya sebelum Anda membacanya, seperti juga halnya menilai seseorang dari penampilannya sebelum Anda tahu siapa dia dan mengapa berpenampilan seperti itu. Karena setiap orang terkadang punya alasan sendiri mengenai penampilannya. Bagi penulis sendiri, penulis lebih nyaman memakai sandal jepit ketimbang memakai sandal mewah dengan hak tinggi yang terkadang malah dapat memperlambat ruang gerak penulis.

Sandal Jepit yang Positif

Penulis menuliskan hal tersebut bukanlah dengan maksud untuk membenarkan ataupun menyalahkan pemakaian sandal jepit pada saat acara-acara resmi, yang memang terkadang memberi aturan bagi para pengunjungnya untuk tidak memakai sandal jepit. Memang ada kalanya aturan itu dibuat agar acara tersebut lebih terlihat profesional dan benar-benar resmi. Akan tetapi, aturan tersebut berdampak seolah-olah orang yang berpenampilan tidak rapih atau pemakai sandal jepit adalah tidak sopan. Namun, itu semua kembali lagi tergantung dari cara pandang dan penilaian masing-masing individu. Cara Buddha sendiri dalam memberikan aturan tidak pernah memakai larangan atau tidak diperbolehkan, tetapi lebih cenderung mengutarakan sebab dan akibatnya. Ini berarti dijalankan atau tidak itu semua adalah keputusan dari individu itu sendiri, hasil atau akibat dialah yang akan menanggungnya. Namun tidaklah baik jika kita berpikiran negatif terhadap orang yang melanggar aturan. Sudah pernah dengar cerita tentang tentang seorang bhikkhu yang melanggar aturan/winaya, karena telah menggendong seorang perempuan guna menyelamatkan/menolong perempuan tersebut menyeberang sungai? Kalau kita melihat si bhikkhu dari sisi pelanggaran winayanya karena telah menggendong seorang perempuan, tentunya kita akan berpikiran negatif terhadap si bhikkhu. tetapi, kalau kita melihat maksud dan tujuan dari si bhikkhu yang menggendong perempuan tersebut, yang tak lain adalah untuk menolong dan menyelamatkan nyawa si perempuan. Tentunya pikiran positiflah yang akan muncul. Seperti halnya pula ketika kita melihat orang yang memakai sandal jepit dalam acara resmi yang tidak memperbolehkan pakai sandal jepit. Dari segi aturannya tentu kita akan berpikiran negatif, menyalahkan atau bahkan mungkin tidak memperbolehkan orang tersebut masuk. Namun jika kita melihat fungsi dan kegunaan dari alas kaki itu sendiri serta lebih menghargai niat dan maksud baik orang itu, tentunya kita tidak akan merasa terganggu oleh masalah tersebut, karena pikiran positif lah yang sedang berkembang di dalam diri kita.

Akan tetapi memang kita juga tidak bisa memungkiri sistem dan aturan serta kebudayaan di dunia, mau tidak mau untuk bertahan hidup manusia harus mengikuti aturan yang ada. Seperti pribahasa mengatakan, ‘Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Namun dengan begitu jangan sampai pikiran kita dipengaruhi hanya karena penampilan seseorang. Ada satu cerita lagi yang juga dapat memberikan inspirasi bagi kita, bahwa penampilan bukanlah segalanya. Apakah Anda pernah membaca atau mendengar cerita tentang seorang anak yang merengek minta dibelikan sepasang sepatu baru oleh ibunya? Namun apa yang terjadi, ketika si anak tidak henti-hentinya merengek, si anak melihat seseorang tanpa kedua kakinya. seketika itu keinginannya pun untuk membeli sepasang sepatu baru terhempas dan si anak terdiam. Dengan demikian, apalah arti sepasang sandal jepit???

Penulis,

Selfy Parkit’2008

Do Words Create our World?


Kata… jika anda membaca empat huruf itu, apa yang ada di benak anda??? Komunikasi! Ya anda benar, kata adalah bagian dari komunikasi. Sambungan-sambungan kata mampu menjembatani insan di dunia untuk berkomunikasi dan menyatakan maksud hati. Kata-kata berasal dari susunan banyak huruf dan membentuk sebuah kalimat, kalimat membentuk sebuah paragraf dan akhirnya disebut sebagai bahasa. Walaupun kata dari setiap bahasa berbeda tapi pada fungsinya adalah sama yaitu untuk berkomunikasi. Arti ‘kata’ sendiri menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah “Unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa”.

Kata-kata adalah hal yang sangat berpengaruh di kehidupan ini. Baik secara lisan dan tulisan, kata-kata sudah menghidupkan dunia ini menjadi sedemikian rupa. Kata-kata bisa menjadi penyebab perdamaian, juga penyebab peperangan. Kekuatan kata-kata mampu memberikan inspirasi dan motivasi bagi setiap individu, namun juga bisa menjadi penyebab penderitaan. Mengapa kata-kata dapat memberikan inspirasi, motivasi dan kebahagiaan, juga sebaliknya mampu menyebabkan peperangan dan penderitaan? sedasyat itukah kekuatan dari kata-kata? Tentunya bukan kata-katalah yang secara penuh menyebabkan itu semua, namun persepsi dari masing-masing individulah yang menentukan akan dibawa ke mana pengertian dari sebuah kata tesebut. Tidak dipungkiri bahwa kadang kala manusia salah paham dalam mengartikan dan menanggapi kata-kata.

Selama berabad-abad kehidupan, pertikaian, peperangan, hubungan manusia satu dengan lainnya tidak lepas dari kesalapahaman kata-kata, keliru ataupun salah paham karena tidak saling mau terbuka dan mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya secara langsung. Manusia mempunyai pengertian sendiri terhadap sesuatu, hidup di dunianya sendiri, tanpa orang lain dapat mengetahui isi di dalamnya. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan kekeliruan, karena daya tangkap dan persepsi manusia masing-masing berbeda.

Untuk membuktikan itu semua, ada sebuah kisah nyata yang menarik. Cerita ini dituturkan oleh Ven. Zen Master Thich Nhat Hanh, pada kesempatan ceramahnya. Kisah ini tentang Tuan Truong, yang terjadi di negara Vietnam ratusan tahun yang lalu, dan setiap orang di sana kebanyakan sudah mengetahui kisah ini. Tuan Truong adalah seorang pria yang masih muda belia, dan harus mengikuti wajib militer. Sehingga dia menjadi tentara dan pergi berperang meninggalkan istrinya yang sedang hamil sendirian di rumah. Mereka menangis cukup lama saat berpisah dan tidak tahu apakah si suami akan pulang dengan selamat, mengingat bahwa pergi berperang sangatlah berisiko. Namun pria muda tersebut cukup beruntung, dia selamat.

Beberapa tahun kemudian ia dibebastugaskan dan istrinya sangat gembira mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang. Dia pergi ke pintu gerbang desa dan menyambut suaminya, ditemani anak laki-lakinya yang masih kecil. Anak kecil itu dilahirkan saat ayahnya masih bergabung dengan pasukan militer. Pada saat mereka bertemu kembali, mereka menangis dan saling berpelukan, menitikan air mata kegembiraan. Mereka sangat bersyukur, pria muda tersebut selamat dan pulang ke rumah bersama.

Berdasarkan tradisi, mereka harus membuat persembahan di altar leluhur untuk memberitahukan para leluhur bahwa keluarga telah bersatu kembali. Pria itu meminta istrinya pergi ke pasar untuk membeli bunga, buah-buahan dan barang persembahan lain yang diperlukan. Pria itu membawa anaknya yang baru pertama kali dia lihat, pulang dan mencoba membujuk anaknya untuk memanggilnya ‘ayah’. Tetapi anak tersebut menolak, “Tuan kamu bukanlah ayah saya, ayah saya adalah orang lain. Ia selalu mengunjungi kami setiap malam, dan setiap kali Ia datang ibu saya akan berbicara dengannya lama sekali. Saat ibu duduk ayah saya juga duduk, saat itu tidur, Ia juga tidur. Jadi kamu bukanlah ayah saya.”

Ayah muda tersebut sangat sedih, sangat terluka. Ia membayangkan ada pria lain yang datang ke rumahnya setiap malam dan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya. Semua kebahagiaan lenyap seketika. Kebahagiaan datang sangat singkat, diikuti dengan ketidakbahagiaan. Ayah muda tersebut sangat menderita sehingga hatinya menjadi sebongkah batu dan sedingin es. Ia tidak dapat lagi tersenyum dan menjadi sangat pendiam. Ia sangat menderita, dan istrinya yang sedang berbelanja tidak tahu sama sekali mengenai hal itu. Sehingga sewaktu dia pulang ke rumah, dia sangat terkejut. Suaminya tidak mau menatap wajahnya lagi, tidak mau berbicara dan menjadi sangat dingin seakan-akan ia memandang rendah istrinya. Perempuan itu tidak mengerti, mengapa? Sehingga sang istri pun mulai menderita.

Setelah persembahan selesai dibuat, perempuan tersebut meletakkannya di altar. Suaminya menyalakan dupa, berdoa kepada leluhur, membentangkan tikar, melakukan empat sujud dan memberitahukan bahwa ia sudah pulang ke rumah dengan selamat dan kembali ke keluarganya. Setelah selesai ayah muda tersebut menggulung tikar, dan tidak mengizinkan istrinya melakukan hal yang serupa, karena ia berpikir bahwa istrinya tidak pantas untuk menampakan dirinya di depan altar para leluhur. Perempuan muda itu kemudian merasa malu, “terhina” karena peristiwa itu, dan dia menderita lebih dalam lagi. Menurut tradisi, setelah upacara selesai mereka harus membereskan persembahan. Keluarga tersebut harus duduk, menikmati makanan dengan suka cita dan kegembiraan; tetapi pria muda tersebut tidak melakukannya. Setelah ritual persembahan, pria muda tersebut kemudian pergi ke desa, dan menghabiskan waktunya di kedai arak. Pria muda tersebut mabuk karena ia tidak dapat menanggung penderitaannya. Ia tidak pulang ke rumah hingga larut malam, sekitar pukul satu atau dua dini hari ia baru pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ia mengulangi perbuatannya tersebut hingga beberapa hari, tidak pernah berbicara dengan istrinya, tidak pernah menatap istrinya, tidak pernah makan di rumah. Perempuan muda tersebut sangat menderita dan dia tidak dapat menanggungnya. Pada hari keempat dia melompat ke sungai dan mati. Dia sangat menderita, pria tersebut juga sangat menderita. Tapi tak seorang pun dari mereka berdua yang datang pada salah satu pihak dan meminta bantuan karena “harga diri”.

‘Saat anda menderita anda yakin bahwa penderitaan anda disebabkan oleh orang yang paling anda cintai, anda lebih suka menderita sendiri’. Manusia lebih mementingkan ego dan harga diri, ketimbang mengatakan apa yang dideritanya. Padahal manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Membutuhkan kasih, perhatian dan pertolongan, terluka dan butuh didengarkan. Hanya dengan mengatakan apa yang dirasakannya padahal manusia sudah dapat menyelesaikan tahap awal penyembuhan deritanya, saling mengungkapkan isi hati, maksud yang sesungguhnya dan derita masing-masing. Namun ‘harga diri mencegahmu menemui orang lain dan meminta bantuan. Kalau saja saat itu sang suami menemui istrinya? Situasinya mungkin akan berbeda.

Malam itu, ia harus tetap tinggal di rumah karena istrinya sudah meninggal dunia, untuk menjaga anak laki-lakinya yang masih kecil. Ia mencari lampu minyak tanah dan menyalakannya. Saat lampunya menyala, tiba-tiba anak kecil itu berteriak: “Ini dia Ayahku!” dia menunjuk bayangan ayahnya di dinding. “Tuan, ayahku biasanya datang tiap malam dan ibu berbicara banyak dengannya, dia menangis di depannya, setiap kali ibu duduk, ayah juga duduk. Setiap kali ibu tidur, ayah juga tidur.”

Jadi, ‘ayah’ yang dimaksudkan anak tersebut hanyalah bayangan ibunya. Ternyata, perempuan itu biasanya berbicara dengan bayangannya setiap malam, karena dia sangat merindukan suaminya. Suatu ketika anaknya bertanya kepada ibunya: “Setiap orang di desa memiliki ayah, kenapa aku tidak punya?” sehingga pada malam tersebut, untuk menenangkan anaknya, sang ibu menunjuk bayangannya di dinding, dan berkata, “Ini dia ayahmu!” dan ia mulai berbicara dengan bayangannya. “Suamiku sayang, kamu sudah pergi begitu lama. Bagaimana mungkin aku membesarkan anak kita sendirian? Tolong, cepatlah pulang sayang.” Itulah pembicaraan yang sering ia lakukan. Tentu saja, saat dia lelah, ia duduk, dan bayangannya juga duduk. Sekarang ayah muda tersebut mulai mengerti. Persepsi keliru sudah menjadi jernih, tetapi semua itu sudah terlambat; istrinya sudah mati.

Dari kisah di atas timbul pertanyaan, apakah kejadian itu disebabkan oleh si anak dan kata-katanya? Walaupun memang benar si anak yang mengatakan kata-kata tersebut, namun jika kita renungkan lebih dalam, ketidaksamaan persepsilah yang menyebabkan kejadian tersebut. Persepsi yang kita buat, yang terbentuk dari pengertian kata di dalam pikiran kita dan dunia di kepala kita.

‘Persepsi yang keliru dapat menyebabkan banyak penderitaan dan kita semua mengalami persepsi yang keliru setiap harinya. Seperti yang disabdakan oleh Buddha, “Kita hidup dengan persepsi keliru setiap harinya”. Untuk itu mulailah hari ini dengan saling terbuka, saling memahami antara sesama, sehingga memperkecil kemungkinan timbulnya persepsi yang keliru. Kesampingkan ego dan harga diri yang membelenggu kita, menyebabkan banyak terciptanya pertikaian dan perselisihan. Mulailah membenahi semuanya, dimulai dari diri kita sendiri agar tercipta kedamaian di antara sesama, teman, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.

Pare ca na vijªnÖti, Mayamettha yamªmase, Ye ca tattha vijªnanti, Tato sammanti medhagª. Masih banyak orang yang tidak mengerti, mengapa kita dapat binasa di dunia ini akibat perselisihan. Ia yang memahami kebenaran ini, akan dapat melenyapkan perselisihan. – Dhammapada (1:6)


Thanks to my parents and ancestor.

Sumber cerita diambil dari buku Kemilau Emas Menebar Kasih (50 tahun Vihara Vimala Dharma) – “Menyembuhkan Diri, Mengatasi Derita”.oleh Ven.Zen Master Thich Nhat Hanh.Tim Penerbit PVVD: Bandung, 2008

Pernah diterbitkan di Majalah Sinar Padumuttara edisi 7 tahun 2010

Ngapain ngerayain Waisak???


Begitu cepat sang waktu berjalan, tak terasa setahun sudah berlalu lagi. Masih teringat di benak gw perayaan waisak di tempat yang sama setahun yang lalu. Hanya saja yang membuatnya sedikit berbeda adalah orang-orang yang menemani gw merayakannya (yuhuuii.. siapa tuh), yah siapa lagi kalo bukan sahabat gw Novita. Tapi kali ini kebersamaan kami disertai oleh adik kecil dan sepupu-sepupunya yang masih berumur belasan. Jealous juga rasanya melihat mereka yang begitu kompaknya dan mau diajak waisak bersama. Sedangkan gw, selain jomblo (ha..ha..) ga ada juga adik-adik gw yang mao diajak ke wihara untuk ngerayain waisakkan bersama. Memang sudah biasa rasanya melewati waisak bersama diri sendiri. Contohnya saja tahun lalu, karena Novi berhalangan hadir, ya mau ga mau sendirilah gw ke wihara. Namun walaupun begitu, selalu saja ada teman-teman gw yang akhirnya bertemu dan bertegur sapa seusai acara. Akan tetapi dari semuanya itu, ada satu hal yang membuat gw bahagia tahun ini, bahkan kebahagiaan ini melebihi gw punya atau dapat cowo misalnya (ha..ha… gila abis, emangnya gw begitu kesepian apa..hihi..hi..) Kebahagiaan ini sebenarnya hadir karena gw merasa turut berbahagia (apa sih gitu aja kok berbelit-belit) ya..ya.. akhirnya bokap, nyokap dan adik bungsu gw datang ke salah satu wihara di Tangerang dan merayakan waisak di sana untuk pertama kalinya (ini sih setahu gw.. ha..ha.. siapa tahu lagi mudanya mereka malah aktif he.he..) walaupun berbeda tempat dan kita tak bersama-sama, namun gw turut bahagia. Sesungguhnya bukanlah karena ikut perayaan waisaknya saja yang bikin gw ngerasa bahagia, tetapi lebih dari itu mereka semakin dekat dengan ajaran kebenaran dan gw berharap semoga mereka selalu memperoleh kebahagiaan.

Seperti halnya tahun lalu, waisak tahun ini juga diguyur oleh hujan, hanya saja bedanya tahun lalu hujan turun seusai acara. Sedangkan di tahun ini, hujan mengguyur orang-orang yang sedang melakukan pradaksina. (Wah.. apalagi neh gerangan yang akan terjadi???) Firasat apalagikah yang akan diciptakan oleh para umat yang berpikiran dan menganggap hal itu bukan sesuatu yang normal. Jangan.. jangan, jangan.. jangan.. (apa sih??? Normal kok, wong hujan mo turun begitu saja kok repot “Kata Gusdur” haha..) namun begitulah terkadang, setiap kejadian yang dianggap tidak seperti biasanya selalu dikait-kaitan dengan kejadian-kejadian lain yang ditakutkan akan terjadi. Padahal yang ditakutkan itu terkadang tidak masuk diakal. (Wah.. inilah salah satu kehebatan pikiran kita dalam membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada he..he…)

Waisak tahun ini cukup berkesan bagi gw, apalagi setelah nonton kilas balik perjuangan Pangeran Siddhàrtha menjadi Buddha, jujur hal ini memberikan semangat dan memperkuat tekad gw untuk terus berjuang seperti beliau. Rasa kagum gw terhadap guru gw yang satu ini sungguh amat tak ada duanya. Apalagi merenungkan betapa hebatnya perjuangan beliau yang tak pernah lelah menghadapi setiap pembelajaran di dalam hidupnya hingga akhirnya dapat merealisasikan apa yang telah dicita-citakannya demi kebahagiaan semua makhluk. Sungguh cinta kasih beliau amat sangat tak terbatas. Begitulah seharusnya kita sebagai muridnya meneladani serta mempraktikan apa yang telah diajarkannya, dan bukan mengulangi kesalahan yang pernah beliau lakukan selama pencahariaan pencerahannya, yaitu dengan tidak bersikap ekstrim. Sesungguhnya perenungan inilah yang seharusnya kita lakukan dan terapkan dalam merayakan hari Waisak, bukan hanya melakukan ritual saja yang memang setiap tahun sering dilakukan dan kurang lebih dengan cara yang sama (lama-lama juga bosen.. kalo udah bosen males ke wihara deh.. ho..ho..ho). Tetapi bagaimana kita melihat diri kita, batin kita, apakah sudah mengalami peningkatan dari tahun yang lalu, ataukah masih di situ-situ saja atau malahan lebih merosot dari sebelumnya. Dengan merenungi hal ini, tentunya kita menjadi semakin mengerti dan dapat mengambil langkah selanjutnya untuk terus berjuang dalam mengikis keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan kita. So, Buddhisme dan semangat Buddhisme bukanlah sekedar ritual saja… Berjuanglah terus dalam mencari kebenaran, jangan Cuma percaya hanya sebatas ritual… Jia You!!!

Happy Waisak Day 2553 – Parkit

KEYAKINAN DAN BUNGKUSNYA


Ketika ditanya mengapa Anda beragama Buddha? Mungkin saya takkan pernah bisa menjelaskan dengan muluk-muluk mengapa saya beragama Buddha dan memilih agama Buddha sebagai agama saya. Mungkin hal itu wajar saja, karena untuk memeluk suatu agama terkadang orang umumnya melihat bungkus luarnya terlebih dahulu tanpa tahu isi dalamnya seperti apa. Sama seperti contoh halnya yang saya lakukan dulu. Kalau kembali ke masa lalu, rasanya Anda mungkin tak percaya kalau orang seperti saya memutuskan untuk memeluk agama Buddha hanya karena hal-hal yang sepele saja. Tapi jika dipikirkan lebih lanjut, toh itu adalah sesuatu hal yang wajar dan manusiawi. Karena pada dasarnya kebutuhan orang beragama adalah untuk mengatasi rasa takut dan menambah kebahagiaan di dalam hidupnya. Begitu pulalah alasannya, mengapa saya beragama Buddha.

Beragama Karena Kenyamanan

Dulu ketika kecil, sebenarnya saya sempat menjadi seorang Buddhis yang rajin datang ke wihara untuk sekolah minggu. Namun sayangnya, karena masalah SDM (Sumber Daya Manusia) di dalam organisasi, maka wihara tempat saya kebaktian itu pun tidak lagi beroperasi. Otomatis kemudian beralihlah saya ke agama lain berkat ajakkan tetangga saya yang kebetulan aktif sebagai pengurus di tempat ibadah tersebut. Waktu itu umur saya sekitar 6 tahun, dan sejak saat itu saya pun menjadi seorang penganut yang rajin. Di hari kebaktian saya akan berpakaian rapih, bahkan lebih pagi datang ke rumah sahabat saya untuk menungguinya mandi dan pergi bersama-sama. Kegiatan setiap minggu itu saya lakukan dengan begitu antusias, namun tak pernah tahu apa yang sebenarnya saya tuju dan perbuat. Yang saya tahu, saya merasa gembira dan nyaman bila berkumpul, dan bermain bersama dengan kakak pengurus serta teman-teman di sana. Karena kenyamanan itulah yang membuat saya mampu bertahan selama kurang lebih 6 tahun lamanya. Mungkin inilah alasannya mengapa setiap orang bisa langeng dengan keyakinannya, yaitu merasa nyaman dan bahagia. Benar pula adanya kalimat yang mengatakan bahwa agama adalah suatu kecocokan. Untuk itu perlu dan penting sekali di dalam Buddhisme dilakukan pengembangan sistem di mana para umat merasa nyaman dengan kondisi dan suasana kebaktian, khususnya untuk kebaktian sekolah minggu di wihara.

Mungkin Sudah Jodoh

Seiring bertambahnya usia, ada satu kerinduan di dalam diri saya untuk datang lagi ke wihara. Hal ini dikarenakan di tempat saya bersekolah ketika SD tidak diajarkan agama yang saya anut, maka mau tidak mau saya pun harus mengikuti pelajaran agama Buddha, dan rupanya saya lumayan berprestasi dengan pelajaran tersebut. Namun kerinduan itu tidak begitu saja memudarkan kesetiaan saya terhadap agama yang saya anut itu, sampai akhirnya keyakinan saya mulai tergoyahkan ketika meninggalnya nenek saya di umur saya yang ke 9 tahun. Kecintaan saya terhadap nenek saya membuat saya ingin lebih menghormatinya, dan menurut saya sembahyang adalah salah satu bentuk penghormatan saya kepadanya saat itu. Namun di dalam agama saya, saya tidak diperbolehkan untuk sembahyang sesuai dengan tradisi yang dijalankan, seperti memegang ‘hio’ misalnya. Hal inilah yang kemudian membuat saya memutuskan untuk mencoba kembali lagi datang ke wihara, hanya berharap bisa melakukan ritual penghormatan kepada nenek saya.

Takut Mati

Keinginan untuk kembali datang ke wihara rupanya memerlukan waktu yang cukup lama. Di tengah-tengah penantian itu ada cerita lucu yang membuat saya akhirnya kembali lagi aktif datang kebaktian di tempat ibadah agama saya yang dulu. Ketika itu di daerah tempat saya tinggal sedang dihebohkan oleh penyakit demam bedarah. Saya yang masih duduk di SMP kelas 2, saat itu sedang asik bermain sendiri di sebuah lapangan yang dipenuhi rumput dan barang-barang bekas termasuk ban mobil yang terisi air hujan di dalamnya. Saat itu ada seekor nyamuk yang penampilannya lain dari nyamuk-nyamuk umumnya datang menggigit saya, dan dengan spontan saya meyakininya sebagai seekor nyamuk demam berdarah. Otomatis kegelisahan dan ketakutan menyelimuti diri saya, disertai pikiran bahwa saya akan segera mati. Ketakutan akan kematian itulah yang membuat saya berdoa kepada Tuhan saya untuk berjanji datang lagi kebaktian jika saya diberikan kesempatan untuk hidup. Ternyata benar saja saya masih hidup dan mau tidak mau saya harus menepati janji yang sudah saya katakan di dalam hati. Kembalilah saya ke tempat ibadah itu, setelah sekian lama tidak datang kebaktian. Sekembalinya saya seperti biasa disambut hangat oleh kakak pengurus, bahkan dia pun menyempatkan waktunya untuk mampir ke rumah saya. Sungguh merupakan awal kesan dan bentuk penerimaan yang luar biasa, otomatis keluarga saya pun merasa tersentuh dan terperhatikan. Namun untungnya teman-teman semasa kecil saya di sana sudah tidak terlalu lagi mengenali saya, dan karena itulah saya merasa kesepian, lalu tidak lama kemudian memutuskan untuk tidak lagi datang kebaktian. Kalau saja teman saya bersikap baik saat itu, mungkin sampai saat ini saya tidak akan mengenal Buddhisme J. Sementara saya yang sudah tidak lagi aktif, sahabat saya malah sungguh sangat aktif bahkan hampir saja dilegalkan menjadi seorang pemeluk sejati. Namun karena memang sudah karma, sahabat saya ini pun ditentang oleh keluarganya. Walaupun sudah ditentang keluarganya hal itu tidak membuatnya sekonyong-konyong untuk berpindah keyakinan, sampai akhirnya dia mendapatkan tugas dari sekolahnya untuk minta tanda tangan penceramah di setiap kebaktian wihara. Tugas tersebut mungkin suatu berkah bagi saya, karena dengan begitu saya punya teman untuk datang ke wihara. Itulah untuk kedua kalinya saya datang dan kebaktian di wihara dan awal kedatangan itulah yang membuat saya dan sahabat saya memutuskan untuk menjadi seorang Buddhis.

Buddhis Tapi Kok Tidak Ramah

Pada dasarnya saya ini berasal dari keluarga Buddhis tradisi yang jarang sekali ke wihara dan hanya melakukan ritual berdasarkan tradisi turun-temurun keluarga, seperti sembahyang leluhur, “Cung.. cung.. Cep” (haha..) dan lain-lain. Mungkin Karena inilah orang tua saya tidak pernah melarang anaknya untuk pergi kebaktian ke tempat ibadah yang berbeda. Tapi dengan begitu saya jadi mengerti perbedaan antara agama lain dengan agama Buddha. Ingat saya waktu pertama kali datang kebaktian ke sebuah wihara yang cukup besar dan ramai umatnya. Dulu di tempat ibadah dari keyakinan saya, biasanya saya disambut dengan senyum dan salam yang menghangatkan. Tetapi di wihara itu saya seperti orang asing yang tak tahu apa-apa dan tak ada satu pun makhluk yang menyapa saya. ‘Oh.. begini rupanya sebuah wihara dan umat Buddha memperlakukan sesamanya’, pikir saya. Untungnya hal ini tidak mengurungkan niatan saya untuk terus datang kebaktian, karena memang saya pun selalu datang dengan sahabat saya. Setelah saya pikirkan sekarang, mungkin inilah salah satu faktor mengapa agama Buddha dulu kurang diminati oleh banyak orang, karena memang bungkus dan pelayanannya yang kurang menarik. Menyapa umat yang datang saja, sebenarnya sudah merupakan bentuk perhatian yang didasari oleh kasih sayang. Namun tentunya sebagai seorang Buddhis sejati akan sangat disayangkan, jika pelayanan semacam ini saja tidak didasari dengan kasih sayang. Mengingat Buddha mengajarkan kasih sayang yang luar biasa, bahkan kasih sayang itu diberikan kepada semua makhluk. Akan tetapi itu dulu, mungkin sekarang zamannya sudah berubah. Saat ini jika saya kembali datang kebaktian di wihara tersebut, sudah terlihat para petugas PU (Pelayanan Umat) dengan ramah menyapa umatnya. Hanya saja memang masih ada beberapa tempat kebaktian yang masih mempertahankan sistem lama, dengan cara cuek atau acuh terhadap umatnya yang datang kebaktian. Untuk itu walaupun isi dalamnya bagus luar biasa, namun tak ada salahnya memperbaiki bungkus luarnya agar terlihat lebih menarik yaitu dengan meningkatkan pelayanan dan hubungan sosial yang baik.

Pernah diterbikan di Majalah Warta Dharma Ratna Edisi Asadha 2553/2009 no.27

Thanks to My Parents and Ancestors

Bangkai Tikus


Kekesalan ini membawaku kepada kemarahan. Beberapa hari yang lalu di kamarku terjadi sesuatu yang menghebohkan. Di sore hari ketika aku sedang menikmati istirahatku tiba-tiba adik perempuanku berseru sambil memprotes dan memecahkan keheningan tidur soreku. “Bau..” begitu katanya, kamarku bau tikus mati alias bangkai tikus. Aku yang akhirnya terbangun dari tidurku berusaha dengan keras menarik nafas, mencari tahu kebenaran kata-kata adik perempuanku. “Mana, ga bau kok!”, seruku sambil mengendus-enduskan hidungku. Lalu, karena sudah terbangun dari tidur, tak ada lagi yang dapat aku lakukan di kamarku selain berbaring. Namun karena bosan dan tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat aku pun beranjak meninggalkan kamar tidurku dan lari ke ruang tamu. Aku duduk dengan tenang sambil menonton televisi acara reality show. Beberapa saat kemudian perut ini terasa lapar dan meminta jatah hariannya. Aku pun mengisi perut ini tanpa lagi memikirkan si bangkai tikus yang bau itu, yang sedang menyebarkan kebauannya di dalam ruangan kamarku yang cukup kecil itu. Selesai bersantap sore, sekali lagi aku diributkan oleh gerutuan-gerutuan adik perempuanku persoalan bau yang masih saja sama. “Kenapa masih saja menggerutu! Ya, dicari dong di mana bangkai tikusnya.” kataku sambil menghampirinya. “Besok aja, udah sore ribet.” Jawab adikku enteng. “Kalau ntar mau tidurnya bau-bauan, ya udah!” seruku cuek. Lalu ketika berpikir sejenak, adikku ini pun masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian ia pun berteriak memanggilku, “Kak, cepetan sini bantuin aku dong!” Ternyata seketika pikirannya pun berubah, tak mau menunggu waktu yang ada untuk menyelesaikan permasalahan bau yang mengganggunya. Apalagi tidur bersama dengan bau yang menyengat dan membangkitkan selera untuk marah-marah menyalahkan tikus yang sudah mati itu.

Sedikit demi sedikit dan satu persatu dikeluarkannya barang-barang yang ada di kamar tempat tidur kami itu. Mulai dari meja kecil, rak-rak buku, kardus-kardus bekas miliknya yang ternyata sudah tak terpakai lagi sampai dengan lemari yang kurang lebih isinya buku-buku dan barang-barang lainnya pun mendapat giliran untuk berpindah dari tempatnya. Setelah sebagian besar dari barang-barang tersebut sudah keluar dari kamar, seketika bau bangkai tikus itu pun sudah tidak tercium lagi di dalam kamar kami, melainkan pindah menyebarkan aromanya di ruang tamu tempat kami menaruh barang-barang tersebut. Sebagian dari orang-orang di rumahku mulai heboh, ada yang berpendapat ini dan itu, ada yang mengusulkan ini dan itu. Namun tak satu pun dari mereka yang turun tangan untuk membantu, karena takut akan melihat bangkai tikus yang jelas-jelas sudah tentu mati. Dengan gerutuan yang masih saja mendesis, di tambah lagi dengan rasa sedikit takut dan geli, adikku pun perlahan-lahan mencari-cari bangkai tersebut. Dibongkar dan dipisahkannya barang-barangnya yang sudah tak terpakai itu untuk dikumpulkan. “De, lebih baik barang-barang yang tak dipakai itu dibuang saja, atau kalau ada barang yang masih layak pakai tapi tidak dibutuhkan lagi lebih baik dikasih orang saja!” teriakku sambil membersihkan barang-barang yang ada di dalam kamar dan merasa kesal mendengar gerutuan-gerutuan adikku yang tak ada habisnya itu, ‘Bukannya di cari malah menggerutu terus’ pikirku. Saat itu kemarahan pun mulai timbul dan hampir memecahkan pengendalian diriku. Terlebih lagi melihat kamar kami yang memang agak sedikit berantakan karena sudah lama tidak mengalami pembersihan besar-besaran membuat beban pikiranku semakin bertambah. Mengapa selama ini masing-masing dari kami selalu saja melemparkan tugas dan tanggung jawab untuk membersihkan kamar tersebut, saat itu aku mulai menyesalinya.

Satu persatu barang yang sudah tak bermasalah dan tak ada bangkai tikus di dalamnya dimasukkan kembali ke dalam kamar, begitu juga dengan barang-barang yang tak terpakai, dikumpulkan dan dibuang ke dalam tong sampah. Dengan begitu akan semakin mudahlah pencarian bangkai tikus kami. Sampai akhirnya teriakan histeris pun terdengar di tengah-tengah ruang tamu. “Ah..ah.. ka, ini-ini bangkainya sudah ketemu!”, seru adikku sambil meringis kegelian dan menunjuk-nunjuk ke arah bangkai tersebut. Bangkai dari anak tikus yang baunya dipermasalahkan itu bersembunyi di dalam keranjang tumpukan pakaian kotor. Seketika rasa kesal kami pun lenyap bersamaan dengan dibuangnya bangkai tikus kecil yang menyebarkan bebauannya itu, sebau rasa kesal kami yang akhirnya menyebabkan kemarahan. Dengan begitu, kamar kami pun terbebas dari bau-bau yang menyengatkan. Namun, tidak dengan pikiran kami yang masih suka terusik dengan kekesalan dan kemarahan hanya karena bau dari bangkai seekor tikus

Sesungguhnya bangkai tikus itu seperti kekotoran batin di dalam diri kita yang harus dibersihkan. Untuk membersihkannya kita harus sabar dan perlahan-lahan mencari tahu dan mengenali si kekotoran batin tersebut hingga akhirnya bisa kita bersihkan yaitu dengan belajar dan berlatih atau mempraktikannya. Di dalam pelatihan dan pembelajaran itu, kita akan banyak menemukan hal atau ajaran dan orang-orang yang akan memberikan petunjuk dan saran-saran. Akan tetapi, tak banyak dari mereka yang bisa dan mau turun tangan untuk membantu kita dalam membersihkannya. Kita sendirilah yang harus lebih giat berusaha dan tidak selalu menggantungkan diri terhadap makhluk lain. Selain itu juga akan ada banyak ajaran-ajaran yang mengaku kebenaran, yang mendorong kita untuk berpikir lebih bijaksana. Hingga akhirnya kekotoran batin tersebut bisa kita buang dari batin ini dan kebahagiaan pun akan datang mengisinya. Namun, jangan sampai bau dari bangkai tikus itu kembali merusak kebahagiaan kita.

Pernah diterbitkan oleh majalah Warta Dharma edisi Waisak 2553 BE/2009 no.26

Thanks to My Family MoM, Alm.Dad, and my sisters &Friends