Retret 2 Hari Bersama Guru Si Cacing (Ajahn Brahm)


Oleh Selfy Parkit

Hati bahagia tiada terkira ketika menerima SMS bahwa saya adalah salah satu manusia dari sekian ribu manusia yang diterima oleh Yayasan Nirlaba Ehipassiko sebagai peserta retret bersama Ajahn Brahm selama 2 hari yang diselenggarakan pada tanggal 28 – 29 Maret 2010. Bagi saya ini adalah berkah, mengingat hanya ada 108 orang saja yang akan diterima sebagai peserta. Bayangkan, banyak sekali waiting list (daftar antrian) orang dari beberapa kota besar yang akhirnya tidak dapat merasakan kebahagiaan yang kami rasakan di retret tersebut.

Tidak semua orang dapat menjumpai guru yang satu ini, tidak semua orang juga yang mempunyai kesempatan belajar darinya. Sungguh saya merasa amat bersyukur.

Persiapan

Hari sabtu sehari sebelum hari H, saya ikut ke Wihara Mandalawangi Serang tempat diadakannya retret, bersama dengan panitia dari Yayasan Ehipassiko yaitu Kartika dan Selvi Tjungandi (yang akrab dipanggil dengan Tjung, karena kebetulan nama kita berdua ternyata mirip) guna untuk persiapan hari esok. Diantar oleh mobil keluarga Bpk. Riyanto (Salah satu umat Wihara Mandalawangi), kami pun akhirnya sampai di Serang menempuh kurang lebih dua jam perjalanan. Sesampainya di tempat, saya, Kartika dan Tjung dibantu oleh ci Mori (Umat yang aktif membantu di hampir setiap kegiatan Buddhis) turut membantu persiapan panitia Wihara Mandalawangi. Semua panitia sungguh-sungguh berusaha keras dalam mempersiapkan acara tersebut. mulai dari mempersiapkan sound system, penerangan, tempat puja bakti, tempat meditasi, atap tenda, ruang kuti dan tempat tidur para yogi beserta konsumsi selama 2 hari. Semua dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, walaupun terkadang sound system mati hidup karena gangguan tekhnis. Akan tetapi semua persiapan tersebut menjadi terasa indah karena dilakukan dengan keiklasan dan keteguhan hati.

Guru Si Cacing datang

Hari H-nya pun tiba, umat dan peserta dari daerah setempat atau pun dari luar kota berduyun-duyun berdatangan dan mendaftar ulang. Banyak peserta yang ternyata batal datang, tetapi dengan cepat tergantikan oleh peserta waiting list. Namun kepadatan peserta sungguh tidak mengurangi keasrian dan kenyamanan di Wihara Mandalawangi yang tempatnya begitu luas.

Guru si cacing (Ajahn Brahm) akhirnya datang. Setelah beliau sampai di Wihara, tak lama kemudian acara pengambilan Atthasila (8 sila)pun dimulai. Keramaian menyelimuti tempat Dhammasala (Tempat Puja Bakti) yang terletak di alam terbuka, dikelilingi oleh rindang pepohonan yang begitu asri, sejuk dan damai, “Bagaikan hutan Jetawana” kata MoM Handaka (Pendiri Yayasan Ehipassiko). Tetapi memang berada di sana sungguh membuat hati saya damai.

Sebelum memulai meditasi, Ajahn Brahm memberikan sedikit ceramah Dhamma dan menjelaskan peraturan meditasi kepada kami, diikuti oleh tanya jawab dari beberapa peserta meditasi, kemudian disusul dengan makan siang. Makan siang itu adalah hidangan terakhir kami pada hari itu, karena para peserta sudah diwajibkan untuk menjalani Atthasila (tidak makan di atas jam 12 siang).

Meditasi Berdamai dengan Batin

Retret meditasi yang saya ikuti kali ini tidak jauh berbeda dengan retret-retret yang pernah saya ikuti sebelumnya. Hanya saja yang membuat perbedaannya menjadi nyata adalah kita tidak bergulat ataupun berusaha melawan batin kita sediri. Tidak mati-matian melawan kantuk, bosan, malas, kesal dan lain sebagainya. Akan tetapi, berusaha berdamai dengan mereka, mengasihi, menyayangi, dan menerima mereka apa adanya. Seperti apa yang dikatakan oleh Ajahn Brahm, “Apa pun kesalahan yang kamu lakukan pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.” Begitu juga dengan batin kita yang malas dan mudah mengantuk, kesal tak bisa berkonsentrasi, bosan — berpindah-pindah ke masa lalu dan masa yang akan datang, banyak berpikir dan berkeinginan yang macam-macam, kita tidak berusaha melawan ataupun menolaknya tetapi menerima mereka apa adanya. Biarlah rasa kantuk itu datang dan pergi dengan sendirinya, biarlah rasa bosan, malas, kesal itu datang dan pergi dengan sendirinya, yang kita lakukan hanya mengasihi dan membiarkan mereka apa adanya. Oleh karena itu tidak heran jika saat itu ada beberapa umat yang tidur dan beristirahat, karena para peserta memang diperbolehkan untuk tidur dan beristirahat jika merasa lelah atau mengantuk. Cara ini pun diapplikasikan Ajahn Brahm pada retret-retret yang diselenggarakannya di Wihara Bodhiyana tempatnya tinggal di Australia. Ajahn Brahm bercerita bawasanya pada hari pertama retret sampai hari ketiga, biasanya peserta kelihatan malas dan banyak yang tertidur. Akan tetapi, di hari-hari selanjutnya peserta menjadi rajin dengan sendirinya dan malah ada yang rela meninggalkan acara makan siangnya untuk tetap bermeditasi. Memang kelihatannya lebih santai dari meditasi yang sering saya ikuti, namun terus terang saya malah menjadi merasa bersemangat dan ingin terus bermeditasi, dan saya pun merasa lebih bahagia.

Santai dan Melepas

Ada salah satu umat yang bertanya kepada Ajahn Brahm, bagaimana kalau pada dasarnya kita adalah orang yang malas, apakah metode ini cocok atau tidak. Karena biasanya meditasi dengan aturan yang ketat mampu memaksakan para meditator yang malas mau tidak mau untuk bermeditasi. Tetapi hasilnya malah ketegangan yang didapat. Ajahn Brahm berkata, batin ini jika semakin dilawan dan dipaksakan hasilnya adalah si batin semakin menjadi-jadi dan memberontak. Kita mengantuk, dan merasa malas karena batin kita lelah dan tidak menyukai kegiatan yang kita lakukan saat itu. Pada saat begitu yang dapat kita lakukan adalah berusaha menerima dan melepas, menerima apa adanya dan tidak memaksakannya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Biarkanlah batin berproses secara alami. Beristirahatlah terlebih dahulu jika merasa lelah atau mengantuk, karena akan ada saatnya di mana batin menjadi lebih segar dan bersemangat, dan saat itulah waktu yang paling tepat bagi batin untuk bermeditasi.

Ada 4 (empat) hal yang dikatakan oleh Ajahn Brahm dan perlu diperhatikan serta diterapkan dalam bermeditasi. Empat hal tersebut adalah sumber kebahagiaan yang juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

Pertama adalah berdana, memberi dan tak mengharap kembali. Kita bermeditasi sama halnya seperti memberikan diri kita sepenuhnya untuk bermeditasi, tanpa mengharap apa pun hasilnya. Tidak mengharapkan pencerahan, Jhana, Kesaktian atau lain sebagainya. Kita melakukan meditasi secara ikhlas, memberikan waktu dan perhatian kita sepenuhnya saat pada itu.

Kedua, melepas (give it up or let it go). Bermeditasi berarti melepaskan, yaitu melepaskan pemikiran-pemikiran masa lalu dan masa depan, keluarga (suami, istri dan anak-anak di rumah), bisnis dan pekerjaan, sekolah, dan lain sebagainya. Berusaha melepaskan dengan ikhlas dan merasa damai karenanya.

Ketiga, Kebebasan (freedom), yaitu merasa bebas dan bahagia di mana pun berada serta apa pun adanya. Di dalam kehidupan sehari-hari ataupun ketika kita bermeditasi, di mana pun tempatnya kita harus berusaha bahagia (be happy wherever you are). Ajahn Brahm berkata bahwa orang yang merasa tidak bahagia di mana pun dia berada, sama halnya seperti orang yang tinggal di penjara. Jadi orang yang merasa tidak bahagia di tempat tertentu seperti orang yang tidak bebas dan dipenjara. Bahagia apa pun adanya, yaitu bahagia seperti ketika mengalami kantuk, malas dan bosan. Bahagia memiliki mereka, berdamai serta memberikan kasih dan sayang kepada mereka (kantuk, malas dan bosan dsb).

Keempat dan yang terakhir Ajahn Brahm menyebutnya ‘Pikiran Teflon’ (Teflon Mind), saya mengartikannya sebagai tidak melekat terhadap satu pandangan atau persepsi yang kita anggap benar, Open minded (pikiran terbuka). Dalam meditasi kita berfokus pada satu objek, namun jika objek lain datang kita menerimanya dengan senang hati dan tidak merasa bersalah ataupun kehilangan atas objek yang telah berlalu sebelumnya. Jika konsentrasi kita dalam meditasi tiba-tiba terusik oleh rasa kantuk, terimalah rasa kantuk dengan senang hati, dengan cinta dan kasih sayang, apa adanya tanpa penolakan ataupun rasa kesal. Seperti kita membuka pintu hati kita terhadap batin kita, apa pun kesalahannya, kita akan selalu menerima dan menyayanginya.

­Membuka Pintu Hati

Hari pertama retret itu diakhiri oleh Dhamma talk dari Ajahn Brahm yang sangat mencerahkan dan cukup menghibur. Walaupun kadang sound system harus mati ditengah jalan, namun tidak mengurangi inti dari Dhamma yang disampaikan.

Di hari terakhir para yogi masih tetap bersemangat dalam bermeditasi. Sampai ketika ceramah Dhamma dan tanya jawab sempat turun hujan lebat yang mengguyur tepat di atas tenda yang didirikan di tempat latihan kami. Tetapi semangat dari para yogi (meditator) dan senyum lebar Ajahn Brahm tidak sama sekali mengurangi kebahagiaan kami di sana. Tidak ada yang menggerutu atau mengeluh dan mencacimaki turunnya hujan, kami hanya tersenyum menerima sang hujan sebagaimana apa adanya dan membiarkannya masuk ke dalam pintu hati kami, selayaknya membukakan pintu untuk batin kami yang masih belum tercerahkan.

# Dipublish di Majalah Sinar Padumuttara Edisi 8, Dapatkan segera majalahnya di Wihara Padumuttara Tangerang.

DIBUANG SAYANG


Beberapa waktu lalu saya sempat terpilih dari sekian ribu orang sebagai peserta BFBA (Bikin Film Bareng Artis) yang diselenggarakan oleh LA Light Indie Movie, yaitu salah satu program yang merupakan wadah untuk belajar dan berkreasi di bidang perfilman Indonesia. Khusus program BFBA peserta terpilih akan membuat film pendek bareng artis dan Program ini akan diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan.

Saya senang sekali ketika mendengar berita terpilihnya saya, apalagi ketika mereka mengundang peserta untuk menghadiri workshop di Yogyakarta yang tentunya di sana akan hadir orang-orang hebat. Namun sayangnya di akhir keputusan, saya harus merelakan kesempatan besar itu, dan saya harus mengundurkan diri karena waktu belajarnya bentrok dengan jam kerja saya, apalagi saya juga berencana untuk melanjutkan kuliah saya. Walaupun awalnya tak terlalu mengharap untuk terpilih, tetapi ketika mendapatkannya kita menjadi sulit untuk melepas.

Pelajaran : Mendapat lebih mudah dari melepas.