Tanggung Jawab Universal dan Lingkungan Global Kita


oleh H. H. Dalai Lama

Terjemahan oleh Selfy Parkit

Sunset @Jimbaran Intercontinental Resort - Bali

Sunset @Jimbaran Intercontinental Resort – Bali -Selfyparkitpic

Ketika berakhirnya abad ke – 20, kita menemukan bahwa dunia telah semakin mengecil. Manusia di dunia telah hampir menjadi satu komunitas. Politik dan Alianansi (Persekutuan) militer telah menciptakan kelompok multinasional yang besar; industri dan perdagangan internasional telah melahirkan ekonomi global. Komunikasi di seluruh dunia melenyapkan pembatas jarak, bahasa dan ras. Kita juga terseret bersama oleh masalah besar yang kita hadapi yaitu: kelebihan penduduk, menipisnya sumber daya alam, dan krisis lingkungan yang mengancam udara, air, dan pepohonan, serta begitu banyak makhluk hidup yang menjadi pondasi penting keberadaan planet kecil yang kita tinggali bersama ini.

Saya percaya bahwa untuk menghadapi tantangan di zaman kita ini, umat manusia harus membentuk rasa tanggung jawab universal yang lebih kuat. Masing – masing kita harus belajar untuk bekerja  tidak hanya untuk dirinya, keluarga atau bangsanya sendiri, tetapi juga demi kepentingan seluruh umat manusia. Tanggung jawab universal adalah kunci nyata menuju kelangsungan hidup manusia. Ini merupakan pondasi/dasar terbaik untuk kedamaian dunia, penggunaan sumber daya alam yang wajar, dan dengan memperhatikan generasi mendatang, kepedulian terhadap lingkungan.

Itulah mengapa begitu melegakan melihat organisasi-organisasi non – pemerintah seperti kalian. Peran kalian dalam mengasah masa depan yang lebih baik sangat diperlukan. Saya telah melewati banyak organisasi seperti itu yang dibentuk oleh sukarelawan berdedikasi yang memiliki kepedulian yang tulus bagi sesama umat manusia. Komitmen seperti ini menggambarkan “garis depan” proses sosial dan lingkungan. Continue reading

Pelindung-pelindung Dunia


Oleh : Bhikkhu Bodhi

Penerjemah : Harianto

Editor: Selfy Parkit

Patung Perdamaian, Nanjing Massacre Memorial Hall-China, Selfyparkit

Patung Perdamaian, Nanjing Massacre Memorial Hall-China, Selfyparkit

Seperti dewa dalam mitologi romawi – Janus, setiap manusia menghadapi dua arah yang berlawanan secara bersamaan. Dengan satu sisi dari kesadaran, kita memandang dengan seksama pada diri kita dan menjadi sadar terhadap diri kita sebagai individu yang dimotivasi oleh suatu desakan yang mendalam untuk menghindari penderitaan dan untuk menyelamatkan diri sendiri, serta menggapai kebahagiaan. Dengan sisi lain, kita memandang dunia ini dengan seksama dan menemukan bahwa hidup kita berhubungan satu sama lainnya, bahwa kita ada sebagai simpul dari sebuah jaringan hubungan yang amat luas dengan mahkluk lain yang nasibnya terikat dengan nasib kita. Oleh karena struktur hubungan dari keberadaan kita, kita terlibat dalam suatu interaksi dua arah yang terus-menerus dengan dunia ini: pengaruh dari dunia ini mendesak diri kita, membentuk dan merubah sikap serta pola kecenderungan diri kita, ketika sikap dan watak kita mengalir keluar ke dunia, suatu dorongan yang memengaruhi kehidupan mahkluk lain untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Kesatuan hubungan satu sama lain ini antara wilayah/ranah dalam dan luar memperoleh suatu urgensi tertentu untuk kita sekarang ini, kemorosotan standar etika yang merajarela dan menjalar di seluruh penjuru dunia. kemerosotan moral seperti ini sama tersebarnya dalam masyarakat yang menikmati taraf kemakmuran dan kestabilan yang nyaman, sama seperti di negara yang miskin dan putus asa menjadikan pelanggaran moral sebagai aspek utama perjuangan untuk bisa bertahan hidup. Tentu saja kita tidak boleh terlarut dalam fantasi warna pastel tentang masa lalu, membayangkan kita hidup di Taman Eden sampai penemuan mesin uap. Kekuatan penggerak hati manusia tidak banyak berubah selama bertahun-tahun, terhadap penderitaan manusia, dorongan tersebut telah melampaui perkiraan. Namun apa yang kita temukan sekarang ini merupakan suatu paradoks aneh yang akan menarik jika hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak baik: ketika terlihat bahwa lebih banyak yang berperilaku sesuai dengan moral dan nilai-nilai kemanusiaan, pada saat yang sama perbuatan dan perilaku yang jauh bertolak-belakang dengan nilai-nilai tersebut terjadi. Perlawanan dengan perlahan terhadap nilai-nilai etika konvensional ini merupakan sebagian hasil dari internasionalisasi perdagangan dan penetrasi global dari hampir semua media komunikasi. Keuntungan pribadi pihak tertentu, dalam rangka pencarian kekuasaan yang lebih luas dan keuntungan yang lebih besar, menghasilkan suatu aksi terorganisir bertujuan pada eksploitasi akan kerentanan nilai moral kita. Aksi ini berlanjut dalam langkah yang lebih menyeluruh, menyerbu setiap bagian dan sudut dalam hidup kita, tanpa memerhatikan konsekuensi jangka panjang terhadap individu dan masyarakat. Akibat-akibat tersebut jelas merupakan kejadian dalam masalah-masalah yang kita hadapi, masalah yang tidak terbatas oleh perbedaan bangsa: kenaikan tingkat kriminalitas, penyebaran kecanduan obat terlarang, pengerusakan lingkungan hidup, perbudakan anak dan prostitusi, perdagangan ilegal dan pornografi, penurunan nilai dalam keluarga sebagai kesatuan pendidikan moral, kepercayaan dan kasih sayang. Continue reading

KUDA PERKASA SI MAHA TAHU (Keberanian)


Pada suatu ketika, Raja Brahmadatta memerintah di Benares, di India sebelah utara. Ia memiliki seekor kuda perkasa yang lahir di wilayah Sindh, lembah sungai Indus, sebelah barat India. Kuda ini adalah Makhluk yang Tercerahkan.

Selain berukuran besar dan kuat, ia sangat pandai dan bijaksana. Ketika ia masih muda, orang-orang menyadari bahwa ia kelihatannya selalu tahu apa keinginan penunggangnya sebelum diberi perintah. Maka ia disebut si Maha Tahu.

Ia dianggap sebagai kuda kerajaan yang paling perkasa, dan diberikan yang terbaik untuk semua kebutuhannya. Kandang kudanya dihias dan selalu bersih dan indah. Kuda-kuda biasanya setia kepada tuan mereka. Si Maha Tahu sangat setia dan tahu berterima kasih atas begitu baiknya raja merawatnya. Dari semua kuda-kuda istana, si Maha Tahu juga yang paling berani. Maka raja menghargai dan mempercayainya.

Kemudian, tujuh raja dari kerajaan tetangga bersatu untuk melawan Raja Brahmadatta. Setiap raja membawa empat pasukan hebat – pasukan gajah dan kuda, kereta perang dan barisan prajurit. Bersama-sama ketujuh raja dengan semua pasukan mereka, mengepung kota Benares.

Raja Brahmadatta menggumpulkan para menteri dan penasehatnya untuk membuat rencana-rencana untuk mempertahankan kerajaan. Mereka menasehatinya, “Jangan menyerah. Kita harus melawan untuk melindungi kekuasaan tertinggi kita. Tetapi, Anda seharusnya tidak mengorbankan orang-orang istana pada permulaannya. Tapi kirimlah pejuang dari semua ksatria untuk mewakili Anda di medan perang. Jika ia kalah, maka Andalah yang kemudian harus pergi.”

Maka raja memangil pejuang tersebut dan bertanya, “Dapatkah Anda menjadi pemenang melawan tujuh raja-raja tersebut?” Si Ksatria menjawab, “Jika Anda mengijinkan aku untuk mengendarai si Maha Tahu kuda perkasa yang paling berani dan paling bijaksana, hanya demikian aku dapat memenangkan pertarungan.” Raja setuju dan berkata, “Kemenanganku tergantung pada kau dan si Maha Tahu, untuk menyelamatkan negara ini dari mara bahaya. Bawalah apa pun yang engkau butuhkan.”

Ksatria pejuang pergi ke kandang kuda istana. Ia memerintahkan si Maha Tahu diberi makan yang baik dan diberi pakaian pelindung senjata dengan semua kondisi terbaik. Lalu ia membungkuk dengan hormat dan naik ke pelana kuda yang indah.

Si Maha Tahu mengetahui apa yang terjadi. Ia berpikir, “Ketujuh raja ini telah datang untuk menyerang negara dan rajaku yang telah memberi makan, merawat dan mempercayaiku. Tidak hanya tujuh raja, tapi juga pasukan mereka yang besar dan kuat mengancam rajaku dan semuanya di Benares. Aku tidak akan membiarkan mereka menang. Tapi aku juga tidak akan memperbolehkan ksatria pejuang membunuh para raja tersebut. Karena aku juga akan terlibat dalam perbuatan yang merugikan dari mengambil kehidupan pihak lain, dalam rangka memenangkan sebuah kemenangan biasa. Malahan, aku akan mengajarkan sebuah cara baru. Aku akan menangkap semua tujuh raja itu tanpa membunuh seorang pun. Itu akan menjadi kemenangkan besar sejati!”

Lalu si Maha Tahu berbicara ke penunggangnya, “Tuan ksatria, mari kita memenangkan pertempuran dengan sebuah cara baru, tanpa memusnahkan kehidupan. Anda hanya harus menangkap setiap raja satu per satu dan tetap berada di punggungku. Biarkan aku menemukan pelajaran sejati melalui banyak pasukan. Perhatikan aku ketika Anda menunggang dan aku akan memperlihatkan kepadamu keberanian yang melampaui cara lama, cara membunuh!”

Ketika ia berbicara tentang ‘sebuah cara baru’ dan ‘pelajaran sejati’ dan ‘keberanian yang melampaui apa pun’, ia seperti kuda agung yang lebih besar daripada kehidupan. Ia mengangkat dirinya dengan anggun dengan kaki belakangnya yang kuat dan melihat ke bawah ke semua pasukan yang mengepung kota. Semua mata terpana oleh kekuatan yang satu ini. Bumi bergetar ketika kaki depannya kembali ke tanah dan ia menyerang ke tengah-tengah empat pasukan dari raja pertama. Ia sepertinya memiliki kecepatan cahaya, kekuatan seratus gajah, dan keyakinan agung dari beberapa alam semesta.

Gajah-gajah dapat mengingat tidak ada satu kuda pun seperti ini, dan demikian pasukan gajah mundur ketakutan. Kuda-kuda tahu bahwa saudara mereka adalah jagoan paling ulung diantara mereka semua, dan demikian pasukan kuda dan pasukan kereta perang berdiri kaku dan membungkuk hormat ketika Makhluk hebat tersebut lewat dan barisan tentara berpencar seperti lalat sebelum datangnya angin kencang.

Raja pertama tidak tahu apa yang telah terjadi, sebelum ia dengan mudah ditangkap dan dibawa ke kota Benares. Dan juga dengan raja kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Dengan cara yang sama raja keenam tertangkap. Tetapi salah satu pengawal setianya melompat dari persembunyian dan menikam pedangnya dalam sekali di sebelah Maha Tahu yang berani. Dengan darah mengucur dari lukanya, ia membawa ksatria pejuang dan menangkap raja keenam kembali ke kota.

Ketika ksatria melihat luka parah tersebut, ia tiba-tiba menjadi takut untuk mengendarai si Maha Tahu yang telah lemah untuk melawan raja ketujuh. Maka ia mulai memakaikan baju baja ke kuda lain yang perkasa, yang juga sebesar si Maha Tahu.

Melihat hal ini, walaupun sangat menderita karena luka yang mematikan tersebut, si Maha Tahu berpikir, “Si ksatria pejuang ini telah kehilangan keberaniannya dengan sangat cepat. Ia tidak memahami sifat sejati dari kekuataanku – pengetahuan bahwa kedamaian sejati hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang damai. Ia berusaha mengalahkan raja ketujuh dan pasukan-pasukannya dengan cara biasa, mengendarai seekor kuda biasa.

“Setelah mengambil langkah pertama untuk tidak membunuh makhluk hidup, aku tidak boleh berhenti setengah jalan. Usaha luhurku untuk mengajarkan sebuah cara baru akan lenyap seperti menggambar garis di air!”

Kuda perkasa yang Maha Tahu berkata kepada ksatria pejuang. “Tuan ksatria, raja ketujuh dan pasukannya adalah yang paling hebat dari semuanya. Mengendarai seekor kuda biasa, walaupun Anda membunuh seribu orang dan binatang, Anda akan kalah. Aku kuda perkasa suku Sindh, dikenal sebagai si Maha Tahu, hanya aku yang dapat mengalahkan mereka tanpa melukai siapa pun, dan menangkap raja ke tujuh hidup-hidup!”

Ksatria pejuang memperoleh kembali keberaniannya. Kuda perkasa berjuang menahan rasa sakitnya. Ketika darah terus mengalir, ia menyerbu dan menyerang empat pasukan dan ksatria menangkap raja terakhir dari ketujuh raja yang suka berperang. Lagi-lagi semua jalannya terbebas dari kekerasan. Melihat tujuh raja mereka dalam penangkapan, para pasukan meletakan senjata mereka dan meminta untuk berdamai.

Menyadari Maha Tahu kuda perkasa tidak dapat bertahan hidup sampai malam, Raja Brahmadatta pergi menemuinya. Ia telah memeliharanya sejak dari kecil, sehingga ia menyayanginya. Ketika raja melihat bahwa ia sekarat, matanya penuh dengan air mata.

Maha Tahu berkata, “Rajaku, aku telah mengabdi dengan setia kepadamu. Dan aku telah melampaui dan menunjukkan sebuah cara baru. Sekarang Anda harus mengabulkan permintaan terakhirku. Anda harus tidak membunuh ketujuh raja ini, walaupun mereka telah berbuat salah kepadamu. Karena, sebuah kemenangan yang menumpakan darah menaburkan benih-benih dari perang berikutnya. Maafkan penyerbuan mereka kepadamu, biarkan mereka kembali ke kerajaan mereka dan semoga Anda semua hidup damai mulai dari sekarang.

“Hadiah apa pun yang Anda ingin berikan kepada hamba, berikanlah kepada ksatria pejuang. Lakukan hanya perbuatan baik, bermurah hatilah, jungjung tinggi kebenaran dan tidak membunuh makhluk hidup. Memerintah dengan adil dan penuh belas kasih.”

Kemudian ia menutup mata dan menghembus nafas terakhir. Raja menangis dan semua berduka atas kepergiannya. Dengan rasa hormat yang tinggi, mereka membakar tubuh si Maha Tahu kuda perkasa – Makhluk yang Tercerahkan.

Raja Brahmadatta membawa tujuh raja kepadanya. Mereka juga menghormati kuda perkasa tersebut, yang telah mengalahkan para pasukan mereka tanpa menumpahkan satu darah pun, kecuali darahnya sendiri. Dalam memorinya mereka berdamai dan tidak pernah lagi tujuh raja dan Brahmadatta berperang satu sama lain.

Pesan moral : Kedamaian sejati hanya dapat dimenangkan oleh cara-cara yang damai.

Diterjemahkan oleh Heny, editor Selfy Parkit.

Sumber: Prince Goodspeaker – Buddhist Tales for Young and Old Volume 1, Stories 1-50

BHIKKHU YANG BAHAGIA (Kegembiraan Dari Kehidupan Spiritual)


Suatu ketika, ada laki-laki kaya terkemuka. Ketika ia menjadi lebih tua, ia menyadari bahwa penderitaan berumur tua sama halnya seperti kaya dan miskin. Jadi ia melepaskan kekayaan dan kedudukannya dan pergi ke dalam hutan untuk hidup sebagai seorang bhikkhu yang miskin. Ia berlatih meditasi dan mengembangkan pikirannya. Ia membebaskan dirinya dari pikiran-pikiran yang tidak berfaedah, menjadi merasa puas dan bahagia. Ketenangan dan keramahannya secara bengangsur-angsur menarik 500 pengikut pendampingnya.

Pada saat itu, dahulu kala, kebanyakan dari bhikkhu-bhikkhu biasanya kelihatan sangat serius. Tetapi ada satu orang bhikkhu yang walaupun ia sangat dihargai, ia selalu menampilkan paling sedikit tersenyum. Tak perduli apa pun yang terjadi, ia tidak pernah kehilangan cahaya kehagaiaan di dalam dirinya. Lalu dalam keadaan bahagia, ia memiliki senyum yang paling lebar dan tertawa yang paling hangat di antara semuanya.

Kadang bhikkhu-bhikkhu, orang lain akan bertanya kepadanya, kenapa ia sangat bahagia, selalu tersenyum. Ia tertawa kecil dan berkata, “Jika aku memberi tahumu, kau tidak akan percaya! Dan jika kau berpikir aku berkata bohong, ini akan menjadi sebuah aib untuk guruku.” Guru tua yang bijaksana tahu sumber dari kebahagiaan yang tidak akan bisa dihapus dari wajahnya. Ia menjadikan bhikkhu paling bahagia ini sebagai asisten utamanya.

Setahun setelah musim hujan, Bhikkhu tua dan 500 pengikutnya pergi ke kota. Raja mengijinkan mereka untuk tinggal di dalam kebunnya yang indah selama musim semi.

Raja ini adalah orang baik, yang sungguh-sungguh bertanggung jawab sebagai seorang raja. Ia berusaha melindungi rakyatnya dari bahaya, dan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Ia harus selalu hati-hati mengenai kerajaan tetangga, beberapa dari mereka tidak ramah dan ada yang mengancam. Ia harus sering berdamai antara menteri-menteri negara saingannya.

Terkadang istri-istrinya bertengkar untuk mendapatkan perhatiannya, dan untuk kenaikan pangkat anak-anak mereka. Ada kalanya, persoalan ketidakpuasan bahkan mengancam hidup dari raja itu sendiri. Sudah tentu, ia tidak henti-hentinya harus khawatir tentang keuangan kerajaan. Pada kenyataannya banyak hal yang harus dikhawatirkannya, sehingga ia tidak pernah punya waktu untuk menjadi bahagia!

Ketika mendekati musim panas, ia tahu bahwa bhikkhu-bhikkhu sedang bersiap-siap untuk kembali ke hutan. Mengingat kesehatan dan kesejahteraan dari pemimpin yang tertua, raja pergi menemuinya dan berkata, “Yang terhormat, sekarang kau sangat tua dan lemah. Apa baiknya kembali ke hutan? Kau dapat mengirim pengikut-pengikutmu kembali, sementara kau tetap di sini.”

Kemudian kepala bhikkhu itu memanggil asisten utamanya dan berkata, “Sekarang kau adalah pemimpin bhikkhu lainnya, sementara kalian semua tinggal di dalam hutan. Karena aku terlalu tua dan lemah, aku akan tetap di sini seperti apa yang ditawarkan oleh Raja.” Jadi 500 orang bhikkhu itu kembali ke hutan dan bhikkhu tua tetap tinggal.

Asisten utama itu melanjutkan berlatih meditasi di hutan. Ia mendapatkan banyak sekali kebijaksanaan dan kedamaian yang membuatnya bahkan lebih bahagia dibandingkan sebelumnya. Ia merindukan gurunya dan ingin membagi kebahagiaannya bersama gurunya. Jadi ia kembali berkunjung ke kota.

Ketika asisten utama itu sampai, ia duduk di atas sebuah permadani di kedua kaki si Bhikkhu tua. Mereka tidak bicara terlalu banyak, tetapi sering sekali asisten utama akan berkata, “Kebahagiaan. Oh.. kebahagiaan!”

Kemudian raja datang berkunjung. Ia menunjukkan rasa hormatnya kepada bhikkhu kepala. Akan tetapi, bhikkhu yang dari hutan itu terus saja mengatakan “Kebahagiaan. Oh.. kebahagiaan!” Dia bahkan tidak berhenti untuk menyapa raja dan menunjukkan rasa hormat yang sepantasnya. Hal ini menggangu sang raja, dan ia berpikir, “Dengan segala kekhawatiranku, sesibuknya aku dalam mengurusi kerajaan. Aku menyediakan waktu luang untuk berkunjung dan bhikkhu ini tidak cukup menghormatiku bahkan mengenaliku. Sungguh sebuah penghinaan!” Ia berkata kepada bhikkhu senior dari dua orang bhikkhu itu, “Yang mulia, bhikkhu ini pasti bodoh karena kebanyakan makan. Itu sebabnya kenapa ia sangat dipenuhi oleh kebahagiaan. Apakah ia hanya bermalas-malas setiap saat?”

Si kepala bhikkhu menjawab, “Oh Raja, sabarlah dan aku akan memberitahu mu sumber dari kebahagiaannya. Tak banyak yang mengetahui hal ini. Dulu ia adalah seorang raja sama kaya dan hebatnya seperti Anda! Lalu ia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu dan melepaskan kehidupannya sebagai raja. Saat ini ia berpikir bahwa kebahagiaannya yang dulu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kegembiraannya saat ini!”

“Ia terbiasa dikelilingi laki-laki bersenjata, yang menjaga dan melindunginya. Sekarang, duduk sendiri di dalam hutan tanpa takut apa pun, ia sudah tidak perlu penjaga yang bersenjata. Ia sudah melepaskan beban dari kekhawatiran tentang kekayaan yang harus dilindungi. Sebaliknya, bebas dari kekhawatiran akan kekayaan dan kekuatan rasa takut, kebijaksanaannya melindungi dirinya dan orang lain. Ia mengalami kemajuan dalam meditasinya sampai kepada kedamaian diri, yang membuatnya terus berkata, “Kebahagiaan! Oh.. kebahagiaan!”

Raja menjadi mengerti. Mendengar cerita bhikkhu yang bahagia membuatnya merasa damai. Ia tinggal sejenak dan menerima nasihat dari kedua bhikkhu tersebut. Kemudian ia menghormat mereka dan kembali ke istana.

Kemudian, si Bhikkhu bahagia yang pernah menjadi seorang raja menghormati gurunya dan kembali ke hutan. Bhikkhu ketua hidup sampai sisa hidupnya, meninggal dunia dan terlahir kembali di surga tingkat tinggi.

Pesan moral : Tak melekat oleh kekayaan dan kekuatan, akan meningkatkan kebahagiaan.

Diterjemahkan oleh Selfy Parkit.

Sumber: Prince Goodspeaker – Buddhist Tales for Young and Old Volume 1, Stories 1-50

Retret 2 Hari Bersama Guru Si Cacing (Ajahn Brahm)


Oleh Selfy Parkit

Hati bahagia tiada terkira ketika menerima SMS bahwa saya adalah salah satu manusia dari sekian ribu manusia yang diterima oleh Yayasan Nirlaba Ehipassiko sebagai peserta retret bersama Ajahn Brahm selama 2 hari yang diselenggarakan pada tanggal 28 – 29 Maret 2010. Bagi saya ini adalah berkah, mengingat hanya ada 108 orang saja yang akan diterima sebagai peserta. Bayangkan, banyak sekali waiting list (daftar antrian) orang dari beberapa kota besar yang akhirnya tidak dapat merasakan kebahagiaan yang kami rasakan di retret tersebut.

Tidak semua orang dapat menjumpai guru yang satu ini, tidak semua orang juga yang mempunyai kesempatan belajar darinya. Sungguh saya merasa amat bersyukur.

Persiapan

Hari sabtu sehari sebelum hari H, saya ikut ke Wihara Mandalawangi Serang tempat diadakannya retret, bersama dengan panitia dari Yayasan Ehipassiko yaitu Kartika dan Selvi Tjungandi (yang akrab dipanggil dengan Tjung, karena kebetulan nama kita berdua ternyata mirip) guna untuk persiapan hari esok. Diantar oleh mobil keluarga Bpk. Riyanto (Salah satu umat Wihara Mandalawangi), kami pun akhirnya sampai di Serang menempuh kurang lebih dua jam perjalanan. Sesampainya di tempat, saya, Kartika dan Tjung dibantu oleh ci Mori (Umat yang aktif membantu di hampir setiap kegiatan Buddhis) turut membantu persiapan panitia Wihara Mandalawangi. Semua panitia sungguh-sungguh berusaha keras dalam mempersiapkan acara tersebut. mulai dari mempersiapkan sound system, penerangan, tempat puja bakti, tempat meditasi, atap tenda, ruang kuti dan tempat tidur para yogi beserta konsumsi selama 2 hari. Semua dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, walaupun terkadang sound system mati hidup karena gangguan tekhnis. Akan tetapi semua persiapan tersebut menjadi terasa indah karena dilakukan dengan keiklasan dan keteguhan hati.

Guru Si Cacing datang

Hari H-nya pun tiba, umat dan peserta dari daerah setempat atau pun dari luar kota berduyun-duyun berdatangan dan mendaftar ulang. Banyak peserta yang ternyata batal datang, tetapi dengan cepat tergantikan oleh peserta waiting list. Namun kepadatan peserta sungguh tidak mengurangi keasrian dan kenyamanan di Wihara Mandalawangi yang tempatnya begitu luas.

Guru si cacing (Ajahn Brahm) akhirnya datang. Setelah beliau sampai di Wihara, tak lama kemudian acara pengambilan Atthasila (8 sila)pun dimulai. Keramaian menyelimuti tempat Dhammasala (Tempat Puja Bakti) yang terletak di alam terbuka, dikelilingi oleh rindang pepohonan yang begitu asri, sejuk dan damai, “Bagaikan hutan Jetawana” kata MoM Handaka (Pendiri Yayasan Ehipassiko). Tetapi memang berada di sana sungguh membuat hati saya damai.

Sebelum memulai meditasi, Ajahn Brahm memberikan sedikit ceramah Dhamma dan menjelaskan peraturan meditasi kepada kami, diikuti oleh tanya jawab dari beberapa peserta meditasi, kemudian disusul dengan makan siang. Makan siang itu adalah hidangan terakhir kami pada hari itu, karena para peserta sudah diwajibkan untuk menjalani Atthasila (tidak makan di atas jam 12 siang).

Meditasi Berdamai dengan Batin

Retret meditasi yang saya ikuti kali ini tidak jauh berbeda dengan retret-retret yang pernah saya ikuti sebelumnya. Hanya saja yang membuat perbedaannya menjadi nyata adalah kita tidak bergulat ataupun berusaha melawan batin kita sediri. Tidak mati-matian melawan kantuk, bosan, malas, kesal dan lain sebagainya. Akan tetapi, berusaha berdamai dengan mereka, mengasihi, menyayangi, dan menerima mereka apa adanya. Seperti apa yang dikatakan oleh Ajahn Brahm, “Apa pun kesalahan yang kamu lakukan pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.” Begitu juga dengan batin kita yang malas dan mudah mengantuk, kesal tak bisa berkonsentrasi, bosan — berpindah-pindah ke masa lalu dan masa yang akan datang, banyak berpikir dan berkeinginan yang macam-macam, kita tidak berusaha melawan ataupun menolaknya tetapi menerima mereka apa adanya. Biarlah rasa kantuk itu datang dan pergi dengan sendirinya, biarlah rasa bosan, malas, kesal itu datang dan pergi dengan sendirinya, yang kita lakukan hanya mengasihi dan membiarkan mereka apa adanya. Oleh karena itu tidak heran jika saat itu ada beberapa umat yang tidur dan beristirahat, karena para peserta memang diperbolehkan untuk tidur dan beristirahat jika merasa lelah atau mengantuk. Cara ini pun diapplikasikan Ajahn Brahm pada retret-retret yang diselenggarakannya di Wihara Bodhiyana tempatnya tinggal di Australia. Ajahn Brahm bercerita bawasanya pada hari pertama retret sampai hari ketiga, biasanya peserta kelihatan malas dan banyak yang tertidur. Akan tetapi, di hari-hari selanjutnya peserta menjadi rajin dengan sendirinya dan malah ada yang rela meninggalkan acara makan siangnya untuk tetap bermeditasi. Memang kelihatannya lebih santai dari meditasi yang sering saya ikuti, namun terus terang saya malah menjadi merasa bersemangat dan ingin terus bermeditasi, dan saya pun merasa lebih bahagia.

Santai dan Melepas

Ada salah satu umat yang bertanya kepada Ajahn Brahm, bagaimana kalau pada dasarnya kita adalah orang yang malas, apakah metode ini cocok atau tidak. Karena biasanya meditasi dengan aturan yang ketat mampu memaksakan para meditator yang malas mau tidak mau untuk bermeditasi. Tetapi hasilnya malah ketegangan yang didapat. Ajahn Brahm berkata, batin ini jika semakin dilawan dan dipaksakan hasilnya adalah si batin semakin menjadi-jadi dan memberontak. Kita mengantuk, dan merasa malas karena batin kita lelah dan tidak menyukai kegiatan yang kita lakukan saat itu. Pada saat begitu yang dapat kita lakukan adalah berusaha menerima dan melepas, menerima apa adanya dan tidak memaksakannya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Biarkanlah batin berproses secara alami. Beristirahatlah terlebih dahulu jika merasa lelah atau mengantuk, karena akan ada saatnya di mana batin menjadi lebih segar dan bersemangat, dan saat itulah waktu yang paling tepat bagi batin untuk bermeditasi.

Ada 4 (empat) hal yang dikatakan oleh Ajahn Brahm dan perlu diperhatikan serta diterapkan dalam bermeditasi. Empat hal tersebut adalah sumber kebahagiaan yang juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

Pertama adalah berdana, memberi dan tak mengharap kembali. Kita bermeditasi sama halnya seperti memberikan diri kita sepenuhnya untuk bermeditasi, tanpa mengharap apa pun hasilnya. Tidak mengharapkan pencerahan, Jhana, Kesaktian atau lain sebagainya. Kita melakukan meditasi secara ikhlas, memberikan waktu dan perhatian kita sepenuhnya saat pada itu.

Kedua, melepas (give it up or let it go). Bermeditasi berarti melepaskan, yaitu melepaskan pemikiran-pemikiran masa lalu dan masa depan, keluarga (suami, istri dan anak-anak di rumah), bisnis dan pekerjaan, sekolah, dan lain sebagainya. Berusaha melepaskan dengan ikhlas dan merasa damai karenanya.

Ketiga, Kebebasan (freedom), yaitu merasa bebas dan bahagia di mana pun berada serta apa pun adanya. Di dalam kehidupan sehari-hari ataupun ketika kita bermeditasi, di mana pun tempatnya kita harus berusaha bahagia (be happy wherever you are). Ajahn Brahm berkata bahwa orang yang merasa tidak bahagia di mana pun dia berada, sama halnya seperti orang yang tinggal di penjara. Jadi orang yang merasa tidak bahagia di tempat tertentu seperti orang yang tidak bebas dan dipenjara. Bahagia apa pun adanya, yaitu bahagia seperti ketika mengalami kantuk, malas dan bosan. Bahagia memiliki mereka, berdamai serta memberikan kasih dan sayang kepada mereka (kantuk, malas dan bosan dsb).

Keempat dan yang terakhir Ajahn Brahm menyebutnya ‘Pikiran Teflon’ (Teflon Mind), saya mengartikannya sebagai tidak melekat terhadap satu pandangan atau persepsi yang kita anggap benar, Open minded (pikiran terbuka). Dalam meditasi kita berfokus pada satu objek, namun jika objek lain datang kita menerimanya dengan senang hati dan tidak merasa bersalah ataupun kehilangan atas objek yang telah berlalu sebelumnya. Jika konsentrasi kita dalam meditasi tiba-tiba terusik oleh rasa kantuk, terimalah rasa kantuk dengan senang hati, dengan cinta dan kasih sayang, apa adanya tanpa penolakan ataupun rasa kesal. Seperti kita membuka pintu hati kita terhadap batin kita, apa pun kesalahannya, kita akan selalu menerima dan menyayanginya.

­Membuka Pintu Hati

Hari pertama retret itu diakhiri oleh Dhamma talk dari Ajahn Brahm yang sangat mencerahkan dan cukup menghibur. Walaupun kadang sound system harus mati ditengah jalan, namun tidak mengurangi inti dari Dhamma yang disampaikan.

Di hari terakhir para yogi masih tetap bersemangat dalam bermeditasi. Sampai ketika ceramah Dhamma dan tanya jawab sempat turun hujan lebat yang mengguyur tepat di atas tenda yang didirikan di tempat latihan kami. Tetapi semangat dari para yogi (meditator) dan senyum lebar Ajahn Brahm tidak sama sekali mengurangi kebahagiaan kami di sana. Tidak ada yang menggerutu atau mengeluh dan mencacimaki turunnya hujan, kami hanya tersenyum menerima sang hujan sebagaimana apa adanya dan membiarkannya masuk ke dalam pintu hati kami, selayaknya membukakan pintu untuk batin kami yang masih belum tercerahkan.

# Dipublish di Majalah Sinar Padumuttara Edisi 8, Dapatkan segera majalahnya di Wihara Padumuttara Tangerang.

Berusaha Menerima


Teman-teman sekolahku sering sekali menertawai dan mengejek ketidakmampuanku dalam melafalkan kata dalam bahasa Inggris. Kekesalanku atas ejekan mereka lebih banyak membuatku menderita dibandingkan ketidakmampuanku ini. Rasanya ingin sekali berontak, namun karena tak enak hati, niat itu pun kupendam dalam hati. Apakah aku merasa bahagia? Tentu saja tidak! Apalagi ejekan itu terus berlangsung dari hari ke hari. Lama kelamaan meledaklah semua pendaman emosiku selama ini. Akhirnya, keluarlah kata-kata sudah aku pendam selama ini.

“Berhentilah menertawai dan mengejekku!” Tetapi apa yang terjadi? Ejekan bukan mereda, malah makin menjadi. Akhirnya, karena merasa lelah, aku pun pasrah dan tidak lagi berusaha menolak apa pun yang mereka katakan, malahan aku ikut menertawai kebodohanku sendiri. Lalu, apa yang terjadi? Bukan kekesalan ataupun ketidaknyamananlah yang aku rasakan saat itu, tetapi rasa lega dan bahagia.

Pelajaran: Menerima sesuatu apa adanya membuat hati kita damai.

*Diterbitkan di Buletin Vimala Dharma (BVD) Bandung, Edisi Mei 2009