Cinta Nenek


By. Selfy Parkit

‘Nenek cucumu merasa sepi dan hampa, bawalah aku ke tempatmu sebentar saja’, pinta Vita lirih dalam hati. Gadis kecil itu tampak tak terurus, seharian sudah ia tidak makan. Wajahnya pucat dan Matanya bengkak karena menangis, yang ia lakukan hanyalah merebahkan tubuhnya di atas kasur tua di bawah atap bocor bertambalkan kaca-kaca bening tempat para bintang mengitipnya dari langit.

“Meong… meoong….” puluhan kucing mengeong kelaparan, sebagian dari mereka sudah pergi untuk mencari makan, sebagian lagi tetap setia menunggui Vita untuk memasak makanan kesukaan yang selama ini mereka makan. Ikan asin dengan sayur mayur hasil kebun sendiri nampaknya sudah seharian tidak dihidangkan kepada mereka. Pangilan mereka bersautan ‘Meong… meoong… meoong….” Seakan-akan mereka mengerti dan merasakan kesedihan Vita. Namun Vita seakan tuli, tenggelam dalam kekalutannya. Baginya tak ada lagi kehidupan, dunia terasa sepi dan tak ada lagi mimpi-mimpi yang bisa ia bagi dengan neneknya, orang yang selama ini ada di sisinya. Continue reading

BLACKIE MILIK NENEK (Kasih Sayang)


Pada suatu waktu, ketika saat Raja Brahmadatta memerintah di Benares, ada seorang nenek yang mempunyai seekor anak sapi. Anak sapi ini adalah seekor anak sapi hitam bangsawan. Sesungguhnya, warnanya hitam pekat tanpa bintik-bintik putih. Anak sapi itu adalah Bodhisatta – makhluk yang tercerahkan.

Nenek itu membesarkan si anak sapi seperti anaknya sendiri. Dia memberi makan nasi dan bubur terbaik. dia menciumi kepala dan leher anak sapi itu, dan anak sapi menjilati tangan si Nenek. Karena mereka sangat akrab, orang-orang mulai memanggil si anak sapi, ‘ Blackie milik nenek’.

Bahkan setelah anak sapi telah tumbuh menjadi sapi jantan yang besar dan kuat, Blackie milik nenek tetap sangat jinak dan lemah-lembut. Anak-anak desa bermain dengannya, memegang leher, telinga, dan tanduknya. Bahkan mereka mengambil ekornya dan berayun ke belakang sebagai tunggangan. Dia menyukai anak-anak, jadi dia tidak pernah mengeluh.

Sapi yang bersahabat itu berpikir, “Nenek baik hati, yang telah membesarkanku seperti seorang ibu bagiku. Dia telah membesarkanku seperti anaknya sendiri. Dia miskin dan kekurangan, tetapi terlalu sungkan meminta bantuanku. Dia terlalu lembut untuk memaksa saya bekerja. Karena saya juga mencintai dia, saya berharap dapat membebaskan dia dari penderitaan kemiskinan.” Jadi sapi mulai mencari pekerjaan.

Suatu hari, sebuah kafilah dengan 500 kereta datang ke desa. Kafilah itu berhenti pada tempat yang sulit untuk menyeberangi sungai. Sapi-sapi mereka tidak dapat menarik kereta menyeberang. Pemimpin kafilah menempatkan 500 pasang sapi pada kereta pertama. Tetapi sungainya terlalu deras sehingga mereka tidak dapat menyeberang walaupun hanya satu kereta.

Menghadapi masalah ini, pemimpin mencari tambahan sapi. Dia terkenal dalam ahli menilai kualitas dari sapi-sapi. Saat memeriksa kumpulan pengembara, dia melihat Blackie milik nenek. Sekilas dia  berpikir, “Sapi bangsawan ini sepertinya memiliki kekuatan dan kemauan menarik kereta-keretaku menyeberangi sungai.”

Dia berkata kepada para penduduk desa yang berdiri di dekatrnya. “Sapi hitam ini milik siapa? Aku ingin menggunakan sapi ini untuk menarik keretaku menyeberangi sungai, dan Aku bersedia membayar jasanya kepada pemiliknya.” Orang-orang berkata, “Kalau begitu, silakan bawa dia. Tuannya sedang tidak ada disini.”

Demikianlah dia meletakan seutas tali melalui hidung Blackie. Tetapi saat dia menarik, dia tidak dapat menggerakan sapi itu! Sapi itu berpikir, “Aku tidak akan bergerak sampai orang ini berkata kalau dia akan membayar perkerjaanku.”

Sebagai penilai sapi yang baik, Pemimpin kafilah memahami alasan ini. Sehingga dia berkata, “Sapi, setelah kamu berhasil menarik 500 keretaku menyeberangi sungai, Aku akan membayar kamu dua koin emas untuk setiap keretanya – bukan satu, tetapi dua!” Mendengar hal ini, Blackie bersedia ikut pergi dengannya.

Kemudian dia memasang pakaian kuda ke sapi hitam itu dan menghubungkannya ke kereta pertama. Sapi itu menarik kereta melewati sungai. Hal ini belum pernah dapat dilakukan oleh 1000 sapi sebelumnya. Seperti yang diharapkan, dia dapat menarik 499 kereta menyeberangi sungai dalam satu waktu, tanpa memperlambat langkahnya!

Ketika semuanya telah selesai dikerjakan, pemimpin kafilah menyiapkan bungkusan berisi hanya satu koin emas per kereta, totalnya 500 koin. Dia mengalungkannya di leher sapi kuat ini. Sapi berpikir, “Orang ini berjanji akan memberikan dua koin emas per kereta, tetapi ini tidak sesuai dengan apa yang sudah dikalungkan di leherku. Maka Aku tidak akan membiarkan dia pergi!” Sapi berjalan ke bagian depan kafilah dan menghalangi jalan.

Pemimpin berusaha mendorongnya keluar dari jalan, tetapi dia tidak bergerak. Pemimpin berusaha mengendarai kereta-kereta itu di sekelilingnya. Tetapi semua sapi telah melihat betapa kuatnya dia, sehingga mereka tidak mau bergerak juga!

Laki-laki itu berpikir, “Tidak diragukan lagi bahwa dia adalah sapi jantan yang pintar, yang dapat mengetahui bahwa Aku hanya membayarnya setengah harga.” Demikianlah dia membuat lagi sebuah bungkusan baru yang berisi 1000 koin emas, dan mengalungkannya di leher sapi.

Blackie milik nenek kembali menyeberangi sungai dan langsung berjalan menuju si nenek, ‘ibu-nya’. Sepanjang perjalanan, anak-anak berusaha mengambil bungkusan uang, mengira itu adalah permainan. Tetapi dia tidak memperdulikan mereka.

Ketika si Nenek melihat bungkusan berat itu, dia sangat terkejut. Anak-anak menceritakan kepadanya semua hal tentang apa yang terjadi di sungai. Dia membuka bungkusan itu dan menemukan 1000 koin emas.

Wanita tua itu juga melihat kelelahan pada mata ’anak’nya. Dia berkata, “Oh anakku, kamu pikir Aku berharap dapat menghasilkan uang dari kamu? Kenapa kamu mau bekerja sangat keras dan menderita? Bagaimanapun susahnya nanti, Aku akan selalu memelihara dan menjagamu.”

Kemudian wanita baik itu memandikan sapi jantan tercintanya dan memijat otot-ototnya yang lelah dengan minyak. Dia memberinya makanan yang baik dan merawatnya, sampai akhir dari hidup mereka yang bahagia.

Pesan moral: Kasih sayang membuat rumah termiskin menjadi rumah terkaya.

Diterjemahkan oleh Novita Hianto, editor Selfy Parkit.

Sumber: Prince Goodspeaker – Buddhist Tales for Young and Old Volume 1, Stories 1-50

Dewa dan Dewi di dalam Rumah



Oleh Yenny Lan & Selfy Parkit


Bhakti

“Jika aku tua nanti…aku sulit berjalan…papalah aku nak”

“Jika aku tua nanti…aku sulit makan…suapilah aku nak”

“Jika aku tua nanti…aku sulit membersihkan badan…basulah aku nak”

Aku pernah membaca kata-kata ini, tertulis di sebuah spanduk besar di wihara sebuah daerah  kecil. Aku lama memandangi tulisan ini, aku juga lama membaca satu persatu kata yang ada dalam tulisan itu. Lalu dikejauhan aku melihat seorang kakek, mungkin umurnya telah lanjut sekeitar 60-an. Kakek itu sedang duduk di sebuah kursi di bawah pohon yang rindang.

Beliau menatapku di kejauhan, lalu kakek itu tersenyum padaku. Tidak lama berselang, dari dalam rumah keluar seorang wanita. Ia telah tua, yang hampir seumuran kakek yang duduk itu. Lalu nenek itu menghampiri si kakek dan menemani duduk di sebelah kakek itu. Yah..aku tau.. mereka pasti sepasang kakek dan nenek yang hidup bahagia.

Nenek itu lalu melambaikan tangannya padaku, seakan memanggilku untuk datang ke mereka, dan aku pun berjalan menghampiri mereka. Nenek itu tersenyum padaku, dengan paras wajah yang begitu sejuk dan bertanya padaku “Nak, apa kamu tahu arti dari tulisan itu?” ucap nenek itu dengan suaranya yang sedikit bergetar. Aku terdiam lalu menggelengkan kepala menyampaikan pada mereka bahwa aku tidak paham tulisan dan arti kata-kata itu.

Si kakek menepuk kepalaku dengan lembut, dan kakek itu berkata padaku

“Nak, saat kamu kecil…kamu digendong mama dan papa”

“Nak, saat kamu kecil…kamu disuapi mama dan papa”

“Nak, saat kamu kecil…kamu dimandikan mama dan papa”

“Nak…nanti ketika papa dan mama kamu telah tua dan renta tak berdaya seperti kami, kamu jangan pernah mengeluh untuk memapah, menyuapi makan, dan membasuh badan mereka…karena saat kamu kecil…papa dan mama kamu tidak pernah mengeluh untuk merawat dan menyayangimu nak…”

Aku, mataku merah saat mendengar ucapan kakek itu. Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Kata-kata yang begitu bermakna. I love Mama Papa… (Yenny Lan)

Waktu Untuk Mama

“Ada dua hal yang tidak bisa ditunda dalam kehidupan ini. Berbakti kepada orang tua dan berbuat kebajikan.” – Master Cheng Yen

Sebagai seorang anak tertua seharusnya aku menjadi contoh yang baik bagi adik-adikku, dan tentunya aku yang paling diandalkan di dalam keluarga. Ketika aku masih duduk di bangku SMP, kedua saudariku masih kecil-kecil. Perbedaan umur kami lumayan jauh, yaitu selisih 6 dan 13 tahun. Karena pekerjaan mama sebagai ibu rumah tangga terlalu banyak, maka otomatis setiap tugas rumah dan ‘acara suruh menyuruh’ semua diandalkannya kepadaku. Seperti contohnya, mengisi air minum di botol, membeli kelengkapan dapur di warung, ataupun mengambil air di rumah tetangga untuk air tempayan yang nantinya digunakan untuk minum dan memasak, dan lain-lain. Pada saat itu kalau disuruh mama aku selalu malas, kerena merasa mama telah menyita waktuku untuk bermain dan nonton TV. Sering sekali aku menggerutu sebelum mengerjakan tugas-tugasku. Pernah juga aku mengeluh kepada mama ‘Mengapa aku terus yang disuruh pergi ke warung untuk beli barang-barang?’.

Tidak hanya itu saja, aku pun tak henti-hentinya merepotkan mama. Misalnya Ketika aku makan, aku yang terlalu dimanja oleh nenek sejak kecil dan terbiasa makan disuapi serta dilayani, jika ingin makan selalu saja merepotkan mama untuk minta dilayani. Karena mama ingin agar aku mandiri, mama selalu memintaku untuk melakukannya sendiri. Tetapi saat itu karena merasa kemauanku tidak dituruti, aku akan marah, mengambek dan mengancam untuk mogok makan. Mama yang sayang padaku tentu saja tak tega membiarkan anaknya kelaparan, diambilkannyalah nasi dan lauk pauk untuk aku makan. Belum lagi ketika aku sakit, aku sering sekali merengek dan merepotkan mama.

Jika aku mengingat kejadian-kejadian itu, sungguh aku bukan anak yang berbakti. Tapi hal ini selalu menyadarkanku bahwa berapa pun waktu yang kuhabiskan untuk membantu mama sungguh tidak akan sebanding dengan waktu yang dihabiskan mama dalam mengandung, melahirkan dan merawat serta membesarkanku. Sepuluh menit selama dua puluh lima tahun mengisi air minum di botol, tidak sebanding dengan waktu mama ketika mengandungku selama Sembilan bulan sepuluh hari. Lima belas menit selama dua puluh lima tahun waktuku untuk pergi ke warung dan membeli barang-barang, sungguh tidak sebanding dengan waktu dan perjuangan mama dalam melahirkanku selama beberapa jam. Tiga puluh menit selama dua puluh lima tahun waktuku mengangkati air tempayan di rumah tetangga, sungguh teramat tiada artinya jika dibandingkan oleh waktu yang dihabiskan mama dalam merawat dan membesarkanku. Namun hal itu semua tak pernah membuat mama merasa bosan, malas dan mengeluh, malahan hal yang terbaik terus saja diberikan kepada anak-anaknya demi kebahagiaan mereka. Semua makanan yang enak diberikan kepada anak-anaknya, sedangkan dirinya rela untuk tidak makan. Jika malam terbangun dari tidur, tak lupa dilihat kamar anaknya untuk memastikan anaknya baik-baik saja. Setiap hari menunggui anak-anaknya pulang dan tak pernah lupa mengingatkan mereka untuk menjaga kesehatan. Sungguh waktu yang dihabiskan mama untukku tidak sebanding dengan apa yang kulakukan untuknya.

Mama, satu dari sekian ibu adalah satu-satunya orang yang rela menghabiskan waktu untuk kebahagiaan anak-anaknya. Akan tetapi, pernahkah kita sebagai anak-anaknya rela menghabiskan waktu kita untuk kebahagiaan mama? (Selfy Parkit)

For my Beloved Parents,

Thanks for being my MoM