Oleh Selfy Parkit
Udara dingin menyelimuti kota Metropolitan, kota dengan banyak gedung pencakar langit yang berdiri berjajar menjulang ke atas hampir melampaui awan.
Di atas tanah terlihat kendaraan beroda berlalu lalang, ada yang kecil dan tak sedikit juga yang besar ikut serta meramaikan bunyi mesin kendaraan.
Di dalam tanah ada kereta mono rel dengan kecepatan tinggi sedang melintasi banyak lorong, dan di dalamnya dipenuhi oleh umat manusia yang berdesakan dan berhimpitan layaknya ikan Sarden di dalam kaleng.
Di pusat kota kaum manusia berduyun-duyun menyusuri jalan-jalan di trotoar, menyebrangi lalu lintas yang padat, meramaikan hiruk pikuk kota besar yang hampir tak pernah terlihat sepi.
Seperti halnya musim dingin yang dilalui kota Metropolitan setiap tahunnya, banyak dedaunan yang mengering bergelantungan di ranting-ranting pohon, sebagian dedaunan terbang tertiup angin dan berjatuhan di atas tanah yang mulai mengering. Roman bumi di sana terlihat lesu dan tak lagi berseri. Wajah muram di pelataran kota itu tampaknya belum juga kedatangan kapas putih dingin yang jatuh dari langit. Langit luas yang kini kelihatannya tak lagi biru; bukan mendung; bukan pula tertutup awan putih, namun berselimut udara asap dan abu.
Pada musim dingin, asap polusi yang berasal dari pabrik-pabrik dan kendaraan di kota kini bercampur dengan asap polusi dari mesin penghangat. Walaupun demikian masyarakat kota itu membutuhkannya, udara dingin terlalu dingin buat mereka, terlebih di tahun-tahun yang kini musimnya tak menentu, dan musim dingin saat itu adalah musim dengan udara terdingin yang pernah ada, serta datang lebih awal dari seharusnya.
Di tengah-tengah hiruk pikuk kaum manusia dan kendaraan beroda, di sebuah pohon di sekitar taman kota, terdapatlah sebuah sarang burung yang nampaknya setengah rusak tersapu oleh angin semalam. Di sarang yang bertengger di atas dahan pohon Maple itu terdengar suara, “Crip… crip… crip…” kicauan dari anak burung yang berada di samping induknya.
Suara kicauan itu terdengar seperti nyanyian merdu kegembiraan bagi telinga kaum manusia di sekitarnya, namun ternyata kicauan itu berasal dari tangisan si anak burung yang hampir kehilangan induknya, “Ibu jangan mati dulu, jangan tinggalkan aku.” katanya.
You must be logged in to post a comment.