Si Pemilik Rumah


by Selfy Parkit

Sejenak ku dengarkan detak jantungku di dalam kesunyian ruang yang membisu, bergantian dengan irama nafas dan hembusan udara di ujung hidungku.

Aku tak ingin membuka mataku, tidak juga ingin beranjak. Hanya ingin terbaring, merasakan sejuknya suhu ruangan ber AC.

Bibir ini tersenyum cerah, dada ini terasa ringan, hangat dan tanpa beban. Seolah aku ingin menari bersama warna warni kupu-kupu yang berterbangan mengelilingi harum semerbak bebungaan di kepalaku. Tiada satu pun makhluk yang bisa menggantikan kebahagiaanku ini dengan harta benda berharga mana pun.

Dalam seketika aku pun tahu bahwa aku telah menyayangi mu lebih dari yang kau mau. Diri mu telah mengisi relung hatiku.

Matahari di luar sana masih saja begitu panas, dan sudah petang pun dia belum juga pulang. Ah… begini toh nasib ibu-ibu perumah tangga? Menunggu suami pulang ke rumah. “Hahaha…” aku tertawa sendiri. Berangan bebas untuk satu hal yang aku sendiri saja tak pernah tahu kapan hal itu akan terwujud.

Aku memang sudah tidak muda belia seperti dulu, tapi aku tak pernah mau ambil pusing. Aku ini perempuan merdeka, bebas berpergian ke mana pun juga, bebas menentukan nasib dan jalan hidup. Entah bagaimana aku sanggup berpikir untuk menghabiskan waktuku menungguimu di rumah, layaknya seorang suami???

Harusnya aku mengisi liburanku di luar sana, berselfy ria, melihat pemandangan, berkelana seorang diri seperti yang sudah biasa aku lakukan dahulu. Hey aku di negeri orang, entah dewa apa yang bersemayam di kepalaku hingga aku hanya ingin menghabiskan waktu ku di rumahmu.

Hati ini sehangat sepanci soup yang ku angkat dari atas kompor dan ku tuangkan ke dalam mangkuk. Bahagia rasanya bisa masak untuk seorang teman hidup yang baik hati. ’Ha..ha…’ Aku tertawa kecil di dalam hati.

Kuletakan satu persatu hidangan yang ku masak sendiri di atas meja makan yang juga berfungsi sebagai meja kerja. Ku tata rapih dan ku bersihkan setiap sudutnya. Lalu aku duduk di atas sofa yang empuk, menunggu orang yang telah bertahun-tahun mendengarkan lelucon dan keluh kesahku. Menunggu si pemilik rumah.

Sesaat bunyi pintu lift di dalam rumah terdengar. Aku meloncat dari sofa berharap lift itu naik ke lantai atas. Aku intip sesekali satu atau dua nomor, namun tak kunjung jua naik ke lantai paling atas. Detik jam menunjukan pukul 8 malam dan si cacing di dalam perutku pun sudah mulai mengajakku menari. ’Semalam inikah ia pulang setiap harinya? Bekerja di negeri orang memang tidak seindah bekerja di negeri sendiri’, pikirku.

Lagi-lagi bunyi pintu lift terdengar, dan benar saja seketika pintunya terbuka lebar, selebar senyuman yang membingkai di wajahku.

Dia pun tersenyum balik kepadaku, menanyaiku apakah aku sudah makan. Ingin rasanya maksud hati membalas pertanyaannya kalau aku belum makan dan sedang menungguinya pulang berharap agar bisa makan bersamanya. Tapi aku belum segila dan senekad itu, aku paham betul tujuanku datang ke rumah ini.

Dia menaruh tas kerjanya di atas bangku dan memalingkan wajahnya kepadaku. “Loh mbok Karti belum makan yak? Makan duluan aja mbok kalau sudah lapar, saya ini setiap hari pulangnya malam loh.” sahutnya seketika, sambil melanjutkan dia bertanya kepadaku, “Bagaimana betah ga mbok kerja di sini? Nanti kalau betah saya bilang ke mama si mbok kerja di sini aja ya, ga usah balik lagi ke rumah, bagaimana?”

Hati ini terus bergetar, tak kuasa menahan rasa. Ingin rasanya maksud hati katakan sejujurnya bahwa tidak diminta pun aku akan selalu siap berada di sisinya, apalagi jika ia yang meminta. “Jie… hehehe…” cekikikan di dalam hatiku.

***

The end