SAKIT


Oleh Selfy Parkit

Ketika sedang sakit, umumnya setiap orang merasakan hari yang dilaluinya terasa lebih sepi, suram, dan membosankan. Ada pula bagi sebagian mereka yang merasa sulit berpikir dengan jernih jika dirinya mengalami sakit. Begitu juga dengan hari-hari yang kulalui saat Aku sakit beberapa waktu yang lalu. Aku cenderung merasa kesepian dan sedikit bosan, karena hanya bisa melakukan hal yang itu-itu saja. Tak banyak yang dapat kuperbuat, dan kerjaku seharian hanya menjadi penghuni tetap tempat tidur saja. Keinginan bertemu dengan teman-teman dan berbincang-bincang dengan mereka membuatku merasa bertambah kesepian. Syukurnya, Aku memiliki ponsel dengan serentetan nomor teman-temanku yang dapat kuhubungi saat itu. Walaupun banyak dari mereka yang tak mengetahui keadaanku yang sedang sakit, namun Aku merasa terhibur oleh gurauan-gurauan dari mereka.

Sesungguhnya banyak dari kita yang terkadang sering berpikir untuk tidak menjenguk teman kita yang sedang sakit dengan salah satu alasan yaitu takut mengganggu teman kita yang perlu beristirahat. Padahal kebanyakan dari mereka yang sedang sakit sungguh sangat mengharapkan teman, keluarga, saudara dan orang-orang yang disayangi, bisa datang dan menghibur mereka. Walaupun, ada beberapa diantara mereka yang memang tidak suka dijenguk ketika mereka sedang sakit. Lain halnya dengan keadaanku saat itu, kesepian dan kebosanan yang Aku rasakan membuatku berpikir ‘senang rasanya jika ada satu atau dua orang temanku yang datang untuk menjengukku’. Namun, tidak dipungkiri pula bahwa ada kalanya bagi mereka yang sakit memang membutuhkan waktu untuk beristirahat. Untuk itu, jika saja setiap teman-temanku berdatangan dari jam ke jam hanya untuk memberikan makanan atau buah-buahan dan mengucapkan semoga lekas sembuh, Aku rasa Aku akan lelah juga, pikirku. Sebenarnya bukan ucapan semoga lekas sembuh yang Aku harapkan saat itu, apalagi mengharapkan makanan dan buah-buahan tentunya. Tetapi, perhatian dan hiburan merekalah yang benar-benar membuatku seakan-akan sehat kembali seperti sediakala. (Dalam hal ini bukan berarti makanan dan buah-buahan itu tidaklah penting, malah sangat dianjurkan. Ha..ha… ).

Ini bukti nyata bahwa orang yang sedang sakit amatlah membutuhkan hiburan yang mampu membuat mereka tertawa, bukan kata-kata turut prihatin saja atau perasaan sedih dan menyesal karena melihat mereka yang sedang sakit. Namun dari itu semua, menjenguk orang yang sedang sakit adalah baik. Terlebih lagi jika kita bisa merawat si sakit, itu merupakan hal yang dipuji oleh Buddha. Dulu pada zaman Buddha Gotama ada seorang bhikkhu yang menderita disentri dan berbaring lemah di tempat yang telah dihamburi tinjanya sendiri. Buddha dan Ananda yang sedang mengunjungi tempat itu menjenguk bhikkhu tersebut, seraya berkata :

“Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?”

“Saya menderita disentri.”

“Apa tidak ada yang merawatmu?”

“Tidak ada, Bhante.” jawab si bhikkhu yang sedang sakit.

“Kenapa para bhikkhu tidak merawatmu?”

“Karena saya tak berguna lagi bagi mereka, Bhante.”

Lalu, Buddha berseru pada Ananda, “Pergi dan ambillah air, kita akan memandikan bhikkhu ini.”

Dengan demikian, Ananda mengambil air ; sementara Buddha menuang air, Ananda mencuci seluruh badan bhikkhu itu. Dengan mengangkatnya pada kepala dan kakinya, Buddha dan Ananda membaringkannya kembali ke pembaringannya. Kemudian, Buddha memanggil seluruh bhikkhu dan bertanya kepada mereka :

“Wahai para bhikkhu, kenapa engkau tidak merawat bhikkhu yang sedang sakit itu?”

“Sebab sudah tidak berguna bagi kita, yang mulia.”

“Kamu sekalian tidak mempunyai ayah dan ibu lagi yang akan merawatmu. Bila kamu sekalian tidak saling merawat siapa yang akan melakukannya? Siapa yang merawat Daku (Buddha) hendaknya merawat pula mereka yang sakit.”

Begitulah Buddha berkata, bahwa merawat orang yang sakit itu sama halnya dengan merawat Buddha. Lalu, Buddha pun menunjukkan nilai-nilai yang hendaknya dimiliki seseorang yang berkeinginan merawat orang sakit, sebagai berikut :

Dengan 5 (lima) cara seseorang dikatakan tepat dalam merawat orang sakit, apakah lima cara itu?

  1. Dia menyiapkan obat;
  2. Dia mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik, yang baik ditawarkannya dan yang tidak baik tidak ditawarkannya;
  3. Dia merawat si sakit dengan cinta-kasih dan tanpa pamrih;
  4. Dia tak tergoyahkan oleh tinja, kencing, muntah dan ludah;
  5. Dari waktu ke waktu dia mengajarkan, memberi wawasan, menghibur serta memberinya kepuasan batin dengan membicarakan Dhamma.

Sakit yang positif

Setelah beberapa hari, Aku pun sembuh dari sakit. Aku sudah bisa jalan-jalan, makan dengan menu normal dan yang terpenting Aku sudah bisa mandi. Maklum disaat Aku sakit, mandi bukanlah lagi suatu kebutuhan tapi keperluan. Rasanya bahagia bisa melakukan rutinitas seperti sediakala. Rutinitas yang sebelumnya mungkin membosankan akan menjadi lebih menyenangkan ketika kita sembuh dari sakit. Dengan begitu, pada saat kita sehat dan mulai bosan pada kehidupan rutinitas kita sehari-hari, seharusnya kita mulai berpikir, bagaimana nanti jika kita sakit!?

Karena sudah mampu berjalan-jalan, kaki ini pun tak sabar menanti untuk digunakan sebagaimana fungsinya yaitu menapak dan melangkah keluar rumah. Hidung ini juga tak sabar ingin menghirup udara kota, yang walaupun penuh debu, namun menampakan bentuk dunia di pelupuk mata. Keinginan-keinginan tersebut membawaku beranjak pergi ke sebuah toko demi membelikan ibuku sesuatu untuk masakannya yang kurang bumbu. Toko ini memang lumayan jauh dari rumahku, untuk itu awalnya Aku bermaksud untuk mengayuh sepedaku menuju ke toko itu. Namun, setelah ku pikir-pikir akan lebih capailah Aku yang baru saja sembuh dari sakit ini, mengendarai sepeda yang kayuhannya lumayan berat. Oleh karena itu, Aku putuskan untuk naik sepeda motor bersama ayahku yang kebetulan satu arah, lalu pulang dengan berjalan kaki.

Sesampainya di toko dan sesudah membeli barang yang dibutuhkan, Aku pun menjalankan niatku untuk berjalan kaki. Selangkah demi selangkah awalnya terasa mengembirakan, namun di tengah perjalanan kaki ini pun terasa berat. Badan ini terasa lelah dan capai, lalu semangatku pun mulai mengendur. ‘Wah Aku capai, mungkin ini karena aku baru saja sembuh dari sakit dan belum pulih benar’, pikirku. Sekejap saja rasa capai dan lelah yang begitu sedikit ini membuatku berpikir untuk segera memanjakan tubuhku. Aku pun mulai mengasihani diriku yang saat itu baru saja pulih dari sakit tetapi sudah berjalan kaki lumayan jauh dari rumah. Sejenak pemikiran-pemikiran itu membatasi semangatku yang awalnya begitu menggebu ingin berjalan kaki. Sampai akhirnya, Aku menyaksikan pemandangan di luar diriku yang menyadarkanku dan membuatku merasa malu. Pemandangan ini datang dari sosok laki-laki tua yang berjalan gontai dengan tongkat kayunya. Kulitnya hitam keriput dibungkus oleh pakaian hitamnya yang agak kumal dan ditutupi topi di kepalanya. Si orang tua ini pun dengan sangat pelan dan dibantu oleh sebatang tongkatnya berjalan dari toko ke toko meminta-minta belas kasihan, berharap orang yang dihampirinya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia rela melangkahkan kakinya yang begitu berat dari satu toko ke toko lainnya yang belum tentu mau memberikannya uang, bahkan selogam uang receh pun. Dia juga rela mengumpulkan receh demi receh dengan keadaannya yang seperti itu, hanya untuk sesuap nasi sehari-harinya.

Dunia ini memang terlihat begitu kejam. Bayangkan saja seorang tua seperti itu, yang mungkin sedang sakit-sakitan masih dibiarkan berkeliaran di jalan raya oleh keluarganya ataupun saudaranya, hanya untuk sesuap nasi. Mungkin saja orang tua ini memang sudah tidak punya lagi sanak keluarga yang merawatnya. Namun, pemandangan di depan mataku ini memberikanku sebuah pelajaran hidup bahwa Aku seharusnya malu melihat si orang tua yang keadaan fisiknya jauh lebih buruk dari padaku, mampu dan mau berjalan tanpa mengeluhkan capai, lelah, berat serta kesakitan yang mungkin ada pada tubuhnya. Tidak seperti Aku yang masih mampu berjalan normal tanpa dibantu oleh sebatang tongkat penyangga pun, sudah berpikir dan mengasihani diriku sendiri hanya karena lelah berjalan sehabis sembuh dari sakit. Namun, ditengah-tengah rasa malu itu, Aku mulai menyadari bahwa betapa beruntung dan bersyukurnya Aku yang walaupun makan bubur, tetapi masih bisa makan tanpa harus meminta-minta di kala ku sedang sakit. Bukan hanya itu saja, Aku pun merasa sangat bersyukur karena ketika Aku sakit masih ada ibu, ayah serta saudara-saudaraku yang masih mau merawatku, tidak seperti si kakek itu.

Lalu kemanakah lenyapnya rasa syukur itu ketika kita sedang sakit? Rasa syukur itu seakan menghilang, seakan pudar oleh derita yang menurut kita teramat berat dan sulit, derita yang sesungguhnya teramat kecil di mata dunia. Terkadang kita lupa untuk mensyukuri hidup dan kehidupan kita di kala kita sedang menderita. Kita juga lupa kalau bersyukur itu artinya merasa bahagia atas apa pun kondisi yang datang dalam hidup kita, merasa bahagia atas apa yang dimiliki dan menghargai atas apa yang sudah kita dapatkan. Apakah hanya karena sakit rasa syukur itu menghilang? Apakah hanya karena penderitaan fisik rasa syukur itu pudar? Dunia begitu luas, penderitaan kita begitu kecil. Rasa syukur ini pun kembali membangkitkan semangatku untuk berjalan pulang menuju rumah. Ingin rasanya membantu si orang tua itu, namun apa daya Aku pulang tak berbekal satu sen pun.

Selfy Parkit’08,

Pernah diterbitkan oleh Majalah Sinar Padumutara edisi 6

Thanks to My Parents and all My Friends

Daftar pustaka :

Dhammika, Shravasti. Dasar Pandangan Agama Buddha. Cetakan kedua. Yayasan Dhammadipa Arama, Surabaya,

Wihara Vimala Dharma Meninggalkan sejuta Kenangan



Oleh Selfy Parkit

Liburan lebaran tahun ini seperti biasa tempat-tempat rekreasi banyak dipadati orang-orang yang menghabiskan waktu liburannya. Seperti halnya tahun lalu, selain pulang kampung untuk bertemu sanak keluarga, biasanya saudara kita yang merayakannya akan pergi ke tempat-tempat rekreasi bersama keluarga. Bagi umat Buddhis sendiri kesempatan berlibur ini dimanfaatkan dengan baik, ada yang pergi untuk bertamasya, ada pula yang mengikuti retreat selama beberapa hari. Memang biasanya banyak wihara-wihara di Indonesia yang akan menjadwalkan program latihan meditasi mereka pada liburan lebaran. Kebiasaan ini juga sudah menjadi rutinitas bagiku sejak tahun-tahun lalu, memanfaatkan liburan sekolah untuk ikut retreat ataupun pergi ke tempat-tempat yang sunyi dan tenang seperti alam pedesaan yang masih asri dan tentram. Namun di tahun ini aku memutuskan untuk keluar dari kebiasaanku tersebut, entah mengapa aku ingin sekali-sekali keluar dari comfort zone dan mencari pengalaman serta tantangan baru, yaitu berkunjung ke kota Bandung menemani temanku berkeliling dan berbelanja di sana ala anak perantauan.

Berdua saja di kota orang ternyata menyenangkan juga dan hal yang paling menyenangkan adalah bertemu dengan orang-orang baru. Kita dapat berbincang-bincang dengan mereka, mengenal lebih jauh dan bertukar pikiran serta saling berbagi pengalaman. Seperti halnya dengan para pengurus di sebuah wihara yang ku kunjungi saat itu. Vimala Dharma (baca:wimala dharma), yaitu wihara yang merupakan perintis berdirinya wihara-wihara di Indonesia setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, di sinilah aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa tersebut. Apa yang membuat mereka luar biasa adalah cara dan bagaimana mereka memperlakukan orang lain. Keramahan dan sikap terbuka mereka terhadap orang asing tidak dapat diragukan lagi, buktinya saja aku dan temanku dipersilakan untuk menginap semalam di wihara ini. Wihara yang dulunya merupakan tempat tinggal (alm) Yang Mulia Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bhante Ashin ini terletak di Jl. Juanda No.5 Bandung Utara, tepatnya bersebelahan dengan Mall Planet Dago. Semula tempat ini merupakan tempat pedagang sayur mayur, alamat nomornya pun mengalami perubahan yang semula nomor 3 menjadi nomor 5. Untuk sampai di lokasinya ternyata sangat mudah, dari terminal Leuwi Panjang kita bisa langsung naik bis Damri ke arah Dago atau bisa juga naik mobil angkutan umum jurusan Kalapa, lalu naik satu kali lagi yang ke arah Dago. Sesampainya di lokasi, kita akan melihat plang nama Wihara Vimala Dharma tepat di sisi kiri jalan. Kalau dilihat dari luar, bangunan wihara ini terlihat seperti bangunan tua zaman Belanda. Memang pada dasarnya bangunan yang satu ini asli bangunan zaman dulu dan hanya direnovasi atapnya saja. Sebelumnya bangunan ini masih berpenghuni, sampai kemudian 17 tahun ketika pertama kali dicetuskannya nama Vimala Dharma yang artinya Ajaran Tak Bernoda oleh (alm) Bhante Ashin yaitu bulan Februari 1958, barulah tanah bangunan ini dibeli oleh para donatur pada tahun 1975 saat hari ulang tahun (alm) Bhante Ashin. Gedung tua ini digunakan sebagai ruang aula yang kadang juga dimanfaatkan untuk kegiatan sekolah minggu GABI (Gelanggang Anak Buddhis Indonesia) dan di sebelah kanannya terdapat ruang MBI (Majelis Buddhayana Indonesia) lalu di kirinya terdapat ruangan yayasan.

Bangunan Wihara Vimala Dharma, tampak depan

Bangunan Wihara Vimala Dharma, tampak depan

Gedung tua yg dlmnya dijadikan aula dan kadang diisi oleh skul minggu (GABI)

Gedung tua yg dlmnya dijadikan aula dan kadang diisi oleh skul minggu (GABI)

Foto2 leluhur umat2 Wihara Vimala Dharma

Foto2 leluhur umat2 Wihara Vimala Dharma

Ruang Meditasi

Ruang Meditasi

Peresmian pemakaian Wihara Vimala Dharma sendiri dilaksanakan pada bulan April 1958 oleh (alm) Bhante Ashin, dan acara peresmian tersebut dihadiri oleh 18 Bhikkhu dari luar negeri dan para umat Buddha dari berbagai daerah. Dari depan pintu masuk melalui pintu gerbang hijau yang tinggi, kita akan melihat gedung lainnya yang terlihat lebih modern (Tanah dari gedung ini dibeli berkat dana utama dari (alm) Appusinho da Silva). Gedung yang satu ini berlantai dua dan menyambung dengan gedung yang ada di seberangnya, membentuk setengah lingkaran dan mengelilingi sebuah paviliun yang ada di tengah-tengahnya. Sebelumnya paviliun ini adalah sebuah kolam besar yang disumbangkan oleh (alm) Na Boen Pit. Lalu sempat direnovasi, dibentuk menjadi taman dan kolam mini, hingga akhirnya terakhir dipugar dari tanggal 5 April 1994 – awal 1999 menjadi paviliun yang sekarang ini digunakan umat untuk beristirahat dan menikmati udara pagi. Tepat di depan paviliun kita akan melihat sebuah patung penghormatan untuk (alm) Bhante Ashin yang dibelakangnya terdapat satu buah pagoda dengan rupang Buddha kecil di dalamnya  dan dua buah pagoda lainnya.

Pagoda di dkt paviliun yang di dalamnya terdapat patung Bhante Ashin

Pagoda di dkt paviliun yang di dalamnya terdapat patung Bhante Ashin

Paviliun yg dulunya sebuah kolam

Paviliun yg dulunya sebuah kolam

Pagoda di dkt paviliun

Pagoda di dkt paviliun

Kembali lagi ke dalam gedung, kalau kita masuk dari pintu depan lantai bawah gedung ini, pertama-tama yang akan kita temukan adalah bursa wihara. Lalu jika kita masuk lagi ke dalamnya, kita akan melihat sebuah ruang perpustakaan yang isinya lumayan lengkap, dan menurut informasi dari seorang mantan pengurus VD angkatan 2003-2006, perpustakaan ini pernah menjadi perpustakaan yang terlengkap se-Indonesia. Bukan hanya kelengkapannya saja, perpustakaan ini juga terlihat rapih dan terorganisasi dengan baik, contohnya saja buku-bukunya disusun dan diletakkan berdasarkan urutan abjad, dan juga  ada aturan kalau buku yang sudah diambil dari tempatnya tidak perlu diletakkan kembali melainkan ditaruh di keranjang yang sudah disediakan – guna menghindari kesalahan penempatan. Sebelum masuk ke ruang perpustakaan, tepat disebelah kanan ada ruang kantor pengurus. Ruangan ini khusus digunakan sebagai ruang kerja para pengurus, termasuk pembuatan bulletin BVD (Berita Vimala Dharma) yang terbit setiap sebulan sekali. Jika kita kembali lagi ke arah pintu masuk, tepat di depan bursa kita akan menemukan anak tangga yang menuju ke lantai dua. Sebenarnya akses menuju ke lantai dua bukan hanya melalui tangga ini saja, bisa juga melalui tangga di seberang ataupun tengah-tengah gedung. Tetapi jika kita naik melalui tangga ini, kita akan langsung sampai di ruang Dhammasala (tempat puja bakti dan pembabaran Dhamma/ajaran). Ruang Dhammasala ini cukup besar dan luas kira-kira bisa menampung sekitar 400 orang umat. Di dinding tepat di atas altarnya, kita bisa melihat berukuran besar ukiran gambar para dewa, dan di seberangnya terdapat ukiran gambar yang menceritakan riwayat hidup Buddha Gotama. Lalu jika kita menghadap rupang Buddha yang merupakan sumbangan Burma Buddha Sasana Counsil ini, di sebelah kirinya terdapat pintu keluar yang akan membawa kita mengitari gedung di lantai dua. Tak jauh dari ruang Dhammasala, terdapat ruang altar Avalokitesvara yang rupangnya merupakan sumbangan dari masyarakat Tulungagung dan tepat di tengah-tengah gedung lantai dua ini terdapat beberapa ruang tamu disediakan bagi tamu yang ingin berkunjung menemui bhikkhu/ bhikkhuni. Kemudian jika kita melanjutkan perjalanan dan mengitari gedung ini kita akan menemukan ruang meditasi dan beberapa kuti bhikkhu yang letaknya tepat berseberangan dengan ruang Dhammasala. Di antara ruang kuti ini terdapat anak tangga, jika kita turun melalui anak tangga ini kita akan menemukan ruangan yang dulu pernah di tempati oleh (alm) Bhante Ashin. Ruangan ini masih terawat dengan baik, di dalamnya terdapat altar rupang Buddha dan lukisan Bhante Ashin berukuran besar yang digantung diatas tempat tidurnya. Kemudian di sisi kanan anak tangga ini terdapat dua buah ruang tamu yang di dalamnya diisi oleh dua buah tempat tidur, nah di situlah tempat aku dan temanku merebahkan tubuh.

Di dalam ruang perpustakaan

Di dalam ruang perpustakaan

Perpustakaan tampak dari luar ruangan

Perpustakaan tampak dari luar ruangan

Kamar yg pernah ditempati bhante Ashin

Kamar yg pernah ditempati bhante Ashin

Altar di ruang Dhammasala

Altar di ruang Dhammasala

Altar Awalokiteswara

Altar Awalokiteswara

Ruang kerja pengurus Wihara Vimala Dharma

Ruang kerja pengurus Wihara Vimala Dharma

Dapur

Berkeliling lagi sambil diiringi gemericik suara air di tengah-tegah gedung terdapat ruang dapur dan ruang makan. Kemudian di sebelah ruang makan terdapat ruangan khusus untuk para umat yang ingin menyimpan foto leluhur atau sanak keluarganya yang sudah meninggal. Biasanya umat akan dikenakan semacam biaya pengurusan setiap bulannya, atau bisa juga dengan cara berdana rutin. Di sebelah ruangan ini ada ruang besar lainnya, yaitu ruang rapat atau ruang pertemuan.

Berjalan mengitari Wihara Vimala Dharma sama halnya mengenang Buddhisme Indonesia di masa lalu, mengingat dan mengenang perjuangan serta kegigihan (alm) MNS Ashin Jinarakkhita dalam mengenalkan Buddhisme di bumi nusantara Indonesia. Apalagi mendengarkan dan membaca sejarah berdirinya wihara tersebut membuat kita seharusnya merasa bersukur dan menghormati peninggalan yang sudah diperjuangkan oleh mereka-mereka yang terdahulu. Sampai sekarang pun semangat perjuangan Bhante Ashin masih terasa kental dan tertulari oleh para pengurus wihara ini. Dengan aktifnya puja bakti dan kegiatan-kegiatan wihara di setiap minggunya, serta praktik Dhamma yang terus digalangkan merupakan bagian dari rasa terima kasih para umat dan pengurus kepada Beliau beserta para donatur.

Sumber :

Special Thanks to Sdri. Vivi Sumanti.

Ven. Zen Master Thich Nhat Hanh. Kemilau Emas Menebar Kasih, 50 tahun Vihara Vimala Dharma : “Menyembuhkan Diri, Mengatasi Derita”. Bandung : Penerbit PVVD, 2008.

Sudah Diterbitkan di Majalah Sinar Padumuttara Edisi 8 Mei 2010, Majalah bisa didapatkan di Wihara Padumuttara-Tangerang.

Retret 2 Hari Bersama Guru Si Cacing (Ajahn Brahm)


Oleh Selfy Parkit

Hati bahagia tiada terkira ketika menerima SMS bahwa saya adalah salah satu manusia dari sekian ribu manusia yang diterima oleh Yayasan Nirlaba Ehipassiko sebagai peserta retret bersama Ajahn Brahm selama 2 hari yang diselenggarakan pada tanggal 28 – 29 Maret 2010. Bagi saya ini adalah berkah, mengingat hanya ada 108 orang saja yang akan diterima sebagai peserta. Bayangkan, banyak sekali waiting list (daftar antrian) orang dari beberapa kota besar yang akhirnya tidak dapat merasakan kebahagiaan yang kami rasakan di retret tersebut.

Tidak semua orang dapat menjumpai guru yang satu ini, tidak semua orang juga yang mempunyai kesempatan belajar darinya. Sungguh saya merasa amat bersyukur.

Persiapan

Hari sabtu sehari sebelum hari H, saya ikut ke Wihara Mandalawangi Serang tempat diadakannya retret, bersama dengan panitia dari Yayasan Ehipassiko yaitu Kartika dan Selvi Tjungandi (yang akrab dipanggil dengan Tjung, karena kebetulan nama kita berdua ternyata mirip) guna untuk persiapan hari esok. Diantar oleh mobil keluarga Bpk. Riyanto (Salah satu umat Wihara Mandalawangi), kami pun akhirnya sampai di Serang menempuh kurang lebih dua jam perjalanan. Sesampainya di tempat, saya, Kartika dan Tjung dibantu oleh ci Mori (Umat yang aktif membantu di hampir setiap kegiatan Buddhis) turut membantu persiapan panitia Wihara Mandalawangi. Semua panitia sungguh-sungguh berusaha keras dalam mempersiapkan acara tersebut. mulai dari mempersiapkan sound system, penerangan, tempat puja bakti, tempat meditasi, atap tenda, ruang kuti dan tempat tidur para yogi beserta konsumsi selama 2 hari. Semua dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, walaupun terkadang sound system mati hidup karena gangguan tekhnis. Akan tetapi semua persiapan tersebut menjadi terasa indah karena dilakukan dengan keiklasan dan keteguhan hati.

Guru Si Cacing datang

Hari H-nya pun tiba, umat dan peserta dari daerah setempat atau pun dari luar kota berduyun-duyun berdatangan dan mendaftar ulang. Banyak peserta yang ternyata batal datang, tetapi dengan cepat tergantikan oleh peserta waiting list. Namun kepadatan peserta sungguh tidak mengurangi keasrian dan kenyamanan di Wihara Mandalawangi yang tempatnya begitu luas.

Guru si cacing (Ajahn Brahm) akhirnya datang. Setelah beliau sampai di Wihara, tak lama kemudian acara pengambilan Atthasila (8 sila)pun dimulai. Keramaian menyelimuti tempat Dhammasala (Tempat Puja Bakti) yang terletak di alam terbuka, dikelilingi oleh rindang pepohonan yang begitu asri, sejuk dan damai, “Bagaikan hutan Jetawana” kata MoM Handaka (Pendiri Yayasan Ehipassiko). Tetapi memang berada di sana sungguh membuat hati saya damai.

Sebelum memulai meditasi, Ajahn Brahm memberikan sedikit ceramah Dhamma dan menjelaskan peraturan meditasi kepada kami, diikuti oleh tanya jawab dari beberapa peserta meditasi, kemudian disusul dengan makan siang. Makan siang itu adalah hidangan terakhir kami pada hari itu, karena para peserta sudah diwajibkan untuk menjalani Atthasila (tidak makan di atas jam 12 siang).

Meditasi Berdamai dengan Batin

Retret meditasi yang saya ikuti kali ini tidak jauh berbeda dengan retret-retret yang pernah saya ikuti sebelumnya. Hanya saja yang membuat perbedaannya menjadi nyata adalah kita tidak bergulat ataupun berusaha melawan batin kita sediri. Tidak mati-matian melawan kantuk, bosan, malas, kesal dan lain sebagainya. Akan tetapi, berusaha berdamai dengan mereka, mengasihi, menyayangi, dan menerima mereka apa adanya. Seperti apa yang dikatakan oleh Ajahn Brahm, “Apa pun kesalahan yang kamu lakukan pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu.” Begitu juga dengan batin kita yang malas dan mudah mengantuk, kesal tak bisa berkonsentrasi, bosan — berpindah-pindah ke masa lalu dan masa yang akan datang, banyak berpikir dan berkeinginan yang macam-macam, kita tidak berusaha melawan ataupun menolaknya tetapi menerima mereka apa adanya. Biarlah rasa kantuk itu datang dan pergi dengan sendirinya, biarlah rasa bosan, malas, kesal itu datang dan pergi dengan sendirinya, yang kita lakukan hanya mengasihi dan membiarkan mereka apa adanya. Oleh karena itu tidak heran jika saat itu ada beberapa umat yang tidur dan beristirahat, karena para peserta memang diperbolehkan untuk tidur dan beristirahat jika merasa lelah atau mengantuk. Cara ini pun diapplikasikan Ajahn Brahm pada retret-retret yang diselenggarakannya di Wihara Bodhiyana tempatnya tinggal di Australia. Ajahn Brahm bercerita bawasanya pada hari pertama retret sampai hari ketiga, biasanya peserta kelihatan malas dan banyak yang tertidur. Akan tetapi, di hari-hari selanjutnya peserta menjadi rajin dengan sendirinya dan malah ada yang rela meninggalkan acara makan siangnya untuk tetap bermeditasi. Memang kelihatannya lebih santai dari meditasi yang sering saya ikuti, namun terus terang saya malah menjadi merasa bersemangat dan ingin terus bermeditasi, dan saya pun merasa lebih bahagia.

Santai dan Melepas

Ada salah satu umat yang bertanya kepada Ajahn Brahm, bagaimana kalau pada dasarnya kita adalah orang yang malas, apakah metode ini cocok atau tidak. Karena biasanya meditasi dengan aturan yang ketat mampu memaksakan para meditator yang malas mau tidak mau untuk bermeditasi. Tetapi hasilnya malah ketegangan yang didapat. Ajahn Brahm berkata, batin ini jika semakin dilawan dan dipaksakan hasilnya adalah si batin semakin menjadi-jadi dan memberontak. Kita mengantuk, dan merasa malas karena batin kita lelah dan tidak menyukai kegiatan yang kita lakukan saat itu. Pada saat begitu yang dapat kita lakukan adalah berusaha menerima dan melepas, menerima apa adanya dan tidak memaksakannya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Biarkanlah batin berproses secara alami. Beristirahatlah terlebih dahulu jika merasa lelah atau mengantuk, karena akan ada saatnya di mana batin menjadi lebih segar dan bersemangat, dan saat itulah waktu yang paling tepat bagi batin untuk bermeditasi.

Ada 4 (empat) hal yang dikatakan oleh Ajahn Brahm dan perlu diperhatikan serta diterapkan dalam bermeditasi. Empat hal tersebut adalah sumber kebahagiaan yang juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

Pertama adalah berdana, memberi dan tak mengharap kembali. Kita bermeditasi sama halnya seperti memberikan diri kita sepenuhnya untuk bermeditasi, tanpa mengharap apa pun hasilnya. Tidak mengharapkan pencerahan, Jhana, Kesaktian atau lain sebagainya. Kita melakukan meditasi secara ikhlas, memberikan waktu dan perhatian kita sepenuhnya saat pada itu.

Kedua, melepas (give it up or let it go). Bermeditasi berarti melepaskan, yaitu melepaskan pemikiran-pemikiran masa lalu dan masa depan, keluarga (suami, istri dan anak-anak di rumah), bisnis dan pekerjaan, sekolah, dan lain sebagainya. Berusaha melepaskan dengan ikhlas dan merasa damai karenanya.

Ketiga, Kebebasan (freedom), yaitu merasa bebas dan bahagia di mana pun berada serta apa pun adanya. Di dalam kehidupan sehari-hari ataupun ketika kita bermeditasi, di mana pun tempatnya kita harus berusaha bahagia (be happy wherever you are). Ajahn Brahm berkata bahwa orang yang merasa tidak bahagia di mana pun dia berada, sama halnya seperti orang yang tinggal di penjara. Jadi orang yang merasa tidak bahagia di tempat tertentu seperti orang yang tidak bebas dan dipenjara. Bahagia apa pun adanya, yaitu bahagia seperti ketika mengalami kantuk, malas dan bosan. Bahagia memiliki mereka, berdamai serta memberikan kasih dan sayang kepada mereka (kantuk, malas dan bosan dsb).

Keempat dan yang terakhir Ajahn Brahm menyebutnya ‘Pikiran Teflon’ (Teflon Mind), saya mengartikannya sebagai tidak melekat terhadap satu pandangan atau persepsi yang kita anggap benar, Open minded (pikiran terbuka). Dalam meditasi kita berfokus pada satu objek, namun jika objek lain datang kita menerimanya dengan senang hati dan tidak merasa bersalah ataupun kehilangan atas objek yang telah berlalu sebelumnya. Jika konsentrasi kita dalam meditasi tiba-tiba terusik oleh rasa kantuk, terimalah rasa kantuk dengan senang hati, dengan cinta dan kasih sayang, apa adanya tanpa penolakan ataupun rasa kesal. Seperti kita membuka pintu hati kita terhadap batin kita, apa pun kesalahannya, kita akan selalu menerima dan menyayanginya.

­Membuka Pintu Hati

Hari pertama retret itu diakhiri oleh Dhamma talk dari Ajahn Brahm yang sangat mencerahkan dan cukup menghibur. Walaupun kadang sound system harus mati ditengah jalan, namun tidak mengurangi inti dari Dhamma yang disampaikan.

Di hari terakhir para yogi masih tetap bersemangat dalam bermeditasi. Sampai ketika ceramah Dhamma dan tanya jawab sempat turun hujan lebat yang mengguyur tepat di atas tenda yang didirikan di tempat latihan kami. Tetapi semangat dari para yogi (meditator) dan senyum lebar Ajahn Brahm tidak sama sekali mengurangi kebahagiaan kami di sana. Tidak ada yang menggerutu atau mengeluh dan mencacimaki turunnya hujan, kami hanya tersenyum menerima sang hujan sebagaimana apa adanya dan membiarkannya masuk ke dalam pintu hati kami, selayaknya membukakan pintu untuk batin kami yang masih belum tercerahkan.

# Dipublish di Majalah Sinar Padumuttara Edisi 8, Dapatkan segera majalahnya di Wihara Padumuttara Tangerang.

Dewa dan Dewi di dalam Rumah



Oleh Yenny Lan & Selfy Parkit


Bhakti

“Jika aku tua nanti…aku sulit berjalan…papalah aku nak”

“Jika aku tua nanti…aku sulit makan…suapilah aku nak”

“Jika aku tua nanti…aku sulit membersihkan badan…basulah aku nak”

Aku pernah membaca kata-kata ini, tertulis di sebuah spanduk besar di wihara sebuah daerah  kecil. Aku lama memandangi tulisan ini, aku juga lama membaca satu persatu kata yang ada dalam tulisan itu. Lalu dikejauhan aku melihat seorang kakek, mungkin umurnya telah lanjut sekeitar 60-an. Kakek itu sedang duduk di sebuah kursi di bawah pohon yang rindang.

Beliau menatapku di kejauhan, lalu kakek itu tersenyum padaku. Tidak lama berselang, dari dalam rumah keluar seorang wanita. Ia telah tua, yang hampir seumuran kakek yang duduk itu. Lalu nenek itu menghampiri si kakek dan menemani duduk di sebelah kakek itu. Yah..aku tau.. mereka pasti sepasang kakek dan nenek yang hidup bahagia.

Nenek itu lalu melambaikan tangannya padaku, seakan memanggilku untuk datang ke mereka, dan aku pun berjalan menghampiri mereka. Nenek itu tersenyum padaku, dengan paras wajah yang begitu sejuk dan bertanya padaku “Nak, apa kamu tahu arti dari tulisan itu?” ucap nenek itu dengan suaranya yang sedikit bergetar. Aku terdiam lalu menggelengkan kepala menyampaikan pada mereka bahwa aku tidak paham tulisan dan arti kata-kata itu.

Si kakek menepuk kepalaku dengan lembut, dan kakek itu berkata padaku

“Nak, saat kamu kecil…kamu digendong mama dan papa”

“Nak, saat kamu kecil…kamu disuapi mama dan papa”

“Nak, saat kamu kecil…kamu dimandikan mama dan papa”

“Nak…nanti ketika papa dan mama kamu telah tua dan renta tak berdaya seperti kami, kamu jangan pernah mengeluh untuk memapah, menyuapi makan, dan membasuh badan mereka…karena saat kamu kecil…papa dan mama kamu tidak pernah mengeluh untuk merawat dan menyayangimu nak…”

Aku, mataku merah saat mendengar ucapan kakek itu. Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Kata-kata yang begitu bermakna. I love Mama Papa… (Yenny Lan)

Waktu Untuk Mama

“Ada dua hal yang tidak bisa ditunda dalam kehidupan ini. Berbakti kepada orang tua dan berbuat kebajikan.” – Master Cheng Yen

Sebagai seorang anak tertua seharusnya aku menjadi contoh yang baik bagi adik-adikku, dan tentunya aku yang paling diandalkan di dalam keluarga. Ketika aku masih duduk di bangku SMP, kedua saudariku masih kecil-kecil. Perbedaan umur kami lumayan jauh, yaitu selisih 6 dan 13 tahun. Karena pekerjaan mama sebagai ibu rumah tangga terlalu banyak, maka otomatis setiap tugas rumah dan ‘acara suruh menyuruh’ semua diandalkannya kepadaku. Seperti contohnya, mengisi air minum di botol, membeli kelengkapan dapur di warung, ataupun mengambil air di rumah tetangga untuk air tempayan yang nantinya digunakan untuk minum dan memasak, dan lain-lain. Pada saat itu kalau disuruh mama aku selalu malas, kerena merasa mama telah menyita waktuku untuk bermain dan nonton TV. Sering sekali aku menggerutu sebelum mengerjakan tugas-tugasku. Pernah juga aku mengeluh kepada mama ‘Mengapa aku terus yang disuruh pergi ke warung untuk beli barang-barang?’.

Tidak hanya itu saja, aku pun tak henti-hentinya merepotkan mama. Misalnya Ketika aku makan, aku yang terlalu dimanja oleh nenek sejak kecil dan terbiasa makan disuapi serta dilayani, jika ingin makan selalu saja merepotkan mama untuk minta dilayani. Karena mama ingin agar aku mandiri, mama selalu memintaku untuk melakukannya sendiri. Tetapi saat itu karena merasa kemauanku tidak dituruti, aku akan marah, mengambek dan mengancam untuk mogok makan. Mama yang sayang padaku tentu saja tak tega membiarkan anaknya kelaparan, diambilkannyalah nasi dan lauk pauk untuk aku makan. Belum lagi ketika aku sakit, aku sering sekali merengek dan merepotkan mama.

Jika aku mengingat kejadian-kejadian itu, sungguh aku bukan anak yang berbakti. Tapi hal ini selalu menyadarkanku bahwa berapa pun waktu yang kuhabiskan untuk membantu mama sungguh tidak akan sebanding dengan waktu yang dihabiskan mama dalam mengandung, melahirkan dan merawat serta membesarkanku. Sepuluh menit selama dua puluh lima tahun mengisi air minum di botol, tidak sebanding dengan waktu mama ketika mengandungku selama Sembilan bulan sepuluh hari. Lima belas menit selama dua puluh lima tahun waktuku untuk pergi ke warung dan membeli barang-barang, sungguh tidak sebanding dengan waktu dan perjuangan mama dalam melahirkanku selama beberapa jam. Tiga puluh menit selama dua puluh lima tahun waktuku mengangkati air tempayan di rumah tetangga, sungguh teramat tiada artinya jika dibandingkan oleh waktu yang dihabiskan mama dalam merawat dan membesarkanku. Namun hal itu semua tak pernah membuat mama merasa bosan, malas dan mengeluh, malahan hal yang terbaik terus saja diberikan kepada anak-anaknya demi kebahagiaan mereka. Semua makanan yang enak diberikan kepada anak-anaknya, sedangkan dirinya rela untuk tidak makan. Jika malam terbangun dari tidur, tak lupa dilihat kamar anaknya untuk memastikan anaknya baik-baik saja. Setiap hari menunggui anak-anaknya pulang dan tak pernah lupa mengingatkan mereka untuk menjaga kesehatan. Sungguh waktu yang dihabiskan mama untukku tidak sebanding dengan apa yang kulakukan untuknya.

Mama, satu dari sekian ibu adalah satu-satunya orang yang rela menghabiskan waktu untuk kebahagiaan anak-anaknya. Akan tetapi, pernahkah kita sebagai anak-anaknya rela menghabiskan waktu kita untuk kebahagiaan mama? (Selfy Parkit)

For my Beloved Parents,

Thanks for being my MoM

Dhammatalk Bersama Ajahn Brahm


Setelah menunggu selama hampir 2 tahun, akhirnya pada tanggal 20 Februari 2009 tepatnya hari sabtu di Pantai Indah Jakarta, Yayasan Ehipassiko yang saat itu bekerja sama dengan BFI (Buddhis Fellowship Indonesia) berhasil menyelenggarakan Dhammatalk dengan pembicara bhikkhu berkebangsaan Australia, Ajahn Brahm. Dhammatalk ini sebenarnya tidak hanya diselenggarakan di Jakarta saja. Dengan bekerja sama oleh berbagai lembaga lokal di setiap kota, Yayasan Ehipassiko berhasil menyelenggarakan Dhammatalk tersebut di berbagai kota seperti, Palembang, Sukabumi, Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar. Sebagai yayasan penerbit yang telah menerbitkan buku terjemahan ‘Membuka Pintu Hati’—buku aslinya berjudul ‘Opening the Door of Your Heart’, sepertinya Yayasan Ehipassiko sudah berhasil mewujudkan harapan bagi para pembacanya untuk bertemu secara langsung dengan penulis buku tersebut.

Walaupun pembukaannya acara ini sempat terlambat untuk beberapa menit, namun Dhammatalk yang dihadiri oleh kurang lebih 2000 orang ini tidak membuat para pengunjungnya kecewa. Karena Tidak hanya membabarkan Dhamma saja, sesampainya di lokasi Ajahn Brahm pun dengan murah hati menyempatkan waktunya untuk melayani umat yang meminta tanda tangannya. Selain buku pertama dan keduanya yaitu ‘Mindfulness Bliss and Beyond’ yang juga diterbitkan oleh Yayasan Ehipassiko dengan judul ‘Superpower Mindfulness’, buku ketiga yang berjudul ‘Hidup Senang Mati Tenang’ pun laris terjual. Buku ketiga yang berisi kumpulan-kumpulan ceramah Ajahn Brahm ini sengaja diterbitkan Yayasan Ehipassiko secara khusus, oleh karenanya kita tidak akan menemukan judul asli dari buku tersebut. Sebenarnya apa yang membuat buku dan Dhammatalk dari Ajahn Brahm ini banyak diminati oleh para pembaca dan umat Buddha? Rupanya bhikkhu kelahiran 1951 ini memang memiliki karisma yang luar biasa. Selain senyumnya yang tak pernah berhenti, caranya menjawab pertanyaan pun sungguh di luar perkiraan.  Di awal pembukaan Dhammatalk MoM Handaka selaku pendiri Ehipassiko Foundation sempat sedikit bercerita mengenai pengalamannya selama berkeliling kota di Indonesia bersama Ajahn Brahm. Beliau pernah mengajukan pertanyaan kepada Ajahn Brahm dan Ajahn Brahm menjawabnya dengan sangat luar biasa. Kurang lebih pertanyaannya seperti ini “Ajahn, apakah Anda Masih bisa marah?” Pertanyaannya yang sedikit nakal tersebut tak lain didasari oleh rasa penasarannya terhadap Ajahn Brahm yang sudah menjelaskan begitu terperinci mengenai [1]Jhāna-Jhāna dan [2]tingkat-tingkat kesucian di dalam buku keduanya.  Pertanyaan yang sederhana namun sangat mengena, karena banyak pula para pembaca dan umat Buddha yang pastinya bertanya-tanya apakah benar Ajahn Brahm sudah mencapai tingkat kesucian tertentu. Lalu sambil menggeram, mata melotot dan mulut menyeringai lebar, Ajahn Brahm menjawab dengan begitu sederhana, “You must try very hard to make me angry”, yang artinya “Kamu harus berusaha dengan sangat keras untuk membuat saya marah”.

Dhammatalk yang berlangsung kurang lebih selama 3 jam itu sungguh memberikan pencerahan tersendiri bagi umat yang mendengarnya. Selain ringan dan mudah dicerna kisah-kisahnya juga dikemas dan diceritakan oleh Ajahn Brahm dengan sangat apik dan penuh humor. Tak heran jika semua pengunjung tertawa dan merasa terhibur. Jadi bukan hanya batin saja yang tercerahkan, fisik pun tersehatkan oleh senam tertawanya.

Oleh Selfy Parkit.                                                                                                                                    Didedikasikan untuk orang tua, Friends dan semua Makhluk.


[1] . Tingkat konsentrasi yang diperoleh seseorang melalui meditasi.

[2] . Di dalam ajaran Buddha dikatakan ada 4  tingkat kesucian yang dapat direalisasi oleh setiap makhluk yaitu Sotapana, Sakadagami, Anagami dan Arahat.

Do Words Create our World?


Kata… jika anda membaca empat huruf itu, apa yang ada di benak anda??? Komunikasi! Ya anda benar, kata adalah bagian dari komunikasi. Sambungan-sambungan kata mampu menjembatani insan di dunia untuk berkomunikasi dan menyatakan maksud hati. Kata-kata berasal dari susunan banyak huruf dan membentuk sebuah kalimat, kalimat membentuk sebuah paragraf dan akhirnya disebut sebagai bahasa. Walaupun kata dari setiap bahasa berbeda tapi pada fungsinya adalah sama yaitu untuk berkomunikasi. Arti ‘kata’ sendiri menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah “Unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa”.

Kata-kata adalah hal yang sangat berpengaruh di kehidupan ini. Baik secara lisan dan tulisan, kata-kata sudah menghidupkan dunia ini menjadi sedemikian rupa. Kata-kata bisa menjadi penyebab perdamaian, juga penyebab peperangan. Kekuatan kata-kata mampu memberikan inspirasi dan motivasi bagi setiap individu, namun juga bisa menjadi penyebab penderitaan. Mengapa kata-kata dapat memberikan inspirasi, motivasi dan kebahagiaan, juga sebaliknya mampu menyebabkan peperangan dan penderitaan? sedasyat itukah kekuatan dari kata-kata? Tentunya bukan kata-katalah yang secara penuh menyebabkan itu semua, namun persepsi dari masing-masing individulah yang menentukan akan dibawa ke mana pengertian dari sebuah kata tesebut. Tidak dipungkiri bahwa kadang kala manusia salah paham dalam mengartikan dan menanggapi kata-kata.

Selama berabad-abad kehidupan, pertikaian, peperangan, hubungan manusia satu dengan lainnya tidak lepas dari kesalapahaman kata-kata, keliru ataupun salah paham karena tidak saling mau terbuka dan mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya secara langsung. Manusia mempunyai pengertian sendiri terhadap sesuatu, hidup di dunianya sendiri, tanpa orang lain dapat mengetahui isi di dalamnya. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan kekeliruan, karena daya tangkap dan persepsi manusia masing-masing berbeda.

Untuk membuktikan itu semua, ada sebuah kisah nyata yang menarik. Cerita ini dituturkan oleh Ven. Zen Master Thich Nhat Hanh, pada kesempatan ceramahnya. Kisah ini tentang Tuan Truong, yang terjadi di negara Vietnam ratusan tahun yang lalu, dan setiap orang di sana kebanyakan sudah mengetahui kisah ini. Tuan Truong adalah seorang pria yang masih muda belia, dan harus mengikuti wajib militer. Sehingga dia menjadi tentara dan pergi berperang meninggalkan istrinya yang sedang hamil sendirian di rumah. Mereka menangis cukup lama saat berpisah dan tidak tahu apakah si suami akan pulang dengan selamat, mengingat bahwa pergi berperang sangatlah berisiko. Namun pria muda tersebut cukup beruntung, dia selamat.

Beberapa tahun kemudian ia dibebastugaskan dan istrinya sangat gembira mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang. Dia pergi ke pintu gerbang desa dan menyambut suaminya, ditemani anak laki-lakinya yang masih kecil. Anak kecil itu dilahirkan saat ayahnya masih bergabung dengan pasukan militer. Pada saat mereka bertemu kembali, mereka menangis dan saling berpelukan, menitikan air mata kegembiraan. Mereka sangat bersyukur, pria muda tersebut selamat dan pulang ke rumah bersama.

Berdasarkan tradisi, mereka harus membuat persembahan di altar leluhur untuk memberitahukan para leluhur bahwa keluarga telah bersatu kembali. Pria itu meminta istrinya pergi ke pasar untuk membeli bunga, buah-buahan dan barang persembahan lain yang diperlukan. Pria itu membawa anaknya yang baru pertama kali dia lihat, pulang dan mencoba membujuk anaknya untuk memanggilnya ‘ayah’. Tetapi anak tersebut menolak, “Tuan kamu bukanlah ayah saya, ayah saya adalah orang lain. Ia selalu mengunjungi kami setiap malam, dan setiap kali Ia datang ibu saya akan berbicara dengannya lama sekali. Saat ibu duduk ayah saya juga duduk, saat itu tidur, Ia juga tidur. Jadi kamu bukanlah ayah saya.”

Ayah muda tersebut sangat sedih, sangat terluka. Ia membayangkan ada pria lain yang datang ke rumahnya setiap malam dan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya. Semua kebahagiaan lenyap seketika. Kebahagiaan datang sangat singkat, diikuti dengan ketidakbahagiaan. Ayah muda tersebut sangat menderita sehingga hatinya menjadi sebongkah batu dan sedingin es. Ia tidak dapat lagi tersenyum dan menjadi sangat pendiam. Ia sangat menderita, dan istrinya yang sedang berbelanja tidak tahu sama sekali mengenai hal itu. Sehingga sewaktu dia pulang ke rumah, dia sangat terkejut. Suaminya tidak mau menatap wajahnya lagi, tidak mau berbicara dan menjadi sangat dingin seakan-akan ia memandang rendah istrinya. Perempuan itu tidak mengerti, mengapa? Sehingga sang istri pun mulai menderita.

Setelah persembahan selesai dibuat, perempuan tersebut meletakkannya di altar. Suaminya menyalakan dupa, berdoa kepada leluhur, membentangkan tikar, melakukan empat sujud dan memberitahukan bahwa ia sudah pulang ke rumah dengan selamat dan kembali ke keluarganya. Setelah selesai ayah muda tersebut menggulung tikar, dan tidak mengizinkan istrinya melakukan hal yang serupa, karena ia berpikir bahwa istrinya tidak pantas untuk menampakan dirinya di depan altar para leluhur. Perempuan muda itu kemudian merasa malu, “terhina” karena peristiwa itu, dan dia menderita lebih dalam lagi. Menurut tradisi, setelah upacara selesai mereka harus membereskan persembahan. Keluarga tersebut harus duduk, menikmati makanan dengan suka cita dan kegembiraan; tetapi pria muda tersebut tidak melakukannya. Setelah ritual persembahan, pria muda tersebut kemudian pergi ke desa, dan menghabiskan waktunya di kedai arak. Pria muda tersebut mabuk karena ia tidak dapat menanggung penderitaannya. Ia tidak pulang ke rumah hingga larut malam, sekitar pukul satu atau dua dini hari ia baru pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ia mengulangi perbuatannya tersebut hingga beberapa hari, tidak pernah berbicara dengan istrinya, tidak pernah menatap istrinya, tidak pernah makan di rumah. Perempuan muda tersebut sangat menderita dan dia tidak dapat menanggungnya. Pada hari keempat dia melompat ke sungai dan mati. Dia sangat menderita, pria tersebut juga sangat menderita. Tapi tak seorang pun dari mereka berdua yang datang pada salah satu pihak dan meminta bantuan karena “harga diri”.

‘Saat anda menderita anda yakin bahwa penderitaan anda disebabkan oleh orang yang paling anda cintai, anda lebih suka menderita sendiri’. Manusia lebih mementingkan ego dan harga diri, ketimbang mengatakan apa yang dideritanya. Padahal manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Membutuhkan kasih, perhatian dan pertolongan, terluka dan butuh didengarkan. Hanya dengan mengatakan apa yang dirasakannya padahal manusia sudah dapat menyelesaikan tahap awal penyembuhan deritanya, saling mengungkapkan isi hati, maksud yang sesungguhnya dan derita masing-masing. Namun ‘harga diri mencegahmu menemui orang lain dan meminta bantuan. Kalau saja saat itu sang suami menemui istrinya? Situasinya mungkin akan berbeda.

Malam itu, ia harus tetap tinggal di rumah karena istrinya sudah meninggal dunia, untuk menjaga anak laki-lakinya yang masih kecil. Ia mencari lampu minyak tanah dan menyalakannya. Saat lampunya menyala, tiba-tiba anak kecil itu berteriak: “Ini dia Ayahku!” dia menunjuk bayangan ayahnya di dinding. “Tuan, ayahku biasanya datang tiap malam dan ibu berbicara banyak dengannya, dia menangis di depannya, setiap kali ibu duduk, ayah juga duduk. Setiap kali ibu tidur, ayah juga tidur.”

Jadi, ‘ayah’ yang dimaksudkan anak tersebut hanyalah bayangan ibunya. Ternyata, perempuan itu biasanya berbicara dengan bayangannya setiap malam, karena dia sangat merindukan suaminya. Suatu ketika anaknya bertanya kepada ibunya: “Setiap orang di desa memiliki ayah, kenapa aku tidak punya?” sehingga pada malam tersebut, untuk menenangkan anaknya, sang ibu menunjuk bayangannya di dinding, dan berkata, “Ini dia ayahmu!” dan ia mulai berbicara dengan bayangannya. “Suamiku sayang, kamu sudah pergi begitu lama. Bagaimana mungkin aku membesarkan anak kita sendirian? Tolong, cepatlah pulang sayang.” Itulah pembicaraan yang sering ia lakukan. Tentu saja, saat dia lelah, ia duduk, dan bayangannya juga duduk. Sekarang ayah muda tersebut mulai mengerti. Persepsi keliru sudah menjadi jernih, tetapi semua itu sudah terlambat; istrinya sudah mati.

Dari kisah di atas timbul pertanyaan, apakah kejadian itu disebabkan oleh si anak dan kata-katanya? Walaupun memang benar si anak yang mengatakan kata-kata tersebut, namun jika kita renungkan lebih dalam, ketidaksamaan persepsilah yang menyebabkan kejadian tersebut. Persepsi yang kita buat, yang terbentuk dari pengertian kata di dalam pikiran kita dan dunia di kepala kita.

‘Persepsi yang keliru dapat menyebabkan banyak penderitaan dan kita semua mengalami persepsi yang keliru setiap harinya. Seperti yang disabdakan oleh Buddha, “Kita hidup dengan persepsi keliru setiap harinya”. Untuk itu mulailah hari ini dengan saling terbuka, saling memahami antara sesama, sehingga memperkecil kemungkinan timbulnya persepsi yang keliru. Kesampingkan ego dan harga diri yang membelenggu kita, menyebabkan banyak terciptanya pertikaian dan perselisihan. Mulailah membenahi semuanya, dimulai dari diri kita sendiri agar tercipta kedamaian di antara sesama, teman, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.

Pare ca na vijªnÖti, Mayamettha yamªmase, Ye ca tattha vijªnanti, Tato sammanti medhagª. Masih banyak orang yang tidak mengerti, mengapa kita dapat binasa di dunia ini akibat perselisihan. Ia yang memahami kebenaran ini, akan dapat melenyapkan perselisihan. – Dhammapada (1:6)


Thanks to my parents and ancestor.

Sumber cerita diambil dari buku Kemilau Emas Menebar Kasih (50 tahun Vihara Vimala Dharma) – “Menyembuhkan Diri, Mengatasi Derita”.oleh Ven.Zen Master Thich Nhat Hanh.Tim Penerbit PVVD: Bandung, 2008

Pernah diterbitkan di Majalah Sinar Padumuttara edisi 7 tahun 2010

Apa yang Membuat Anda Bahagia?


Oleh Selfy Parkit

Apa yang membuat Anda bahagia? Setiap orang memilih jawaban tersendiri dalam meraih kebahagiaannya. Suatu hari pada saat rapat mingguan di sekolah tempat saya bekerja, kepala sekolah saya mengajukan sebuah pertanyaan kepada para guru dalam bahasa Inggris. Kurang lebih pertanyaan seperti ini “Hal apa yang membuat Anda bahagia?” Orang pertama yang menjawab pertanyaan ini dengan mantap menyebutkan bahwa pacarlah yang membuatnya bahagia. Maklum orang yang bersangkutan memang belum mempunyai pacar, sudah tentu jika saat ini dia sangat berharap agar dapat menemukan wanita yang mau jadi pacarnya, dan hal itulah yang akan membuatnya bahagia. Lalu sebagian besar dari para guru menjawab bahwa hal yang membuat mereka bahagia adalah bisa berkumpul dengan keluarga atau orang-orang yang dicintainya, seperti orang tua, anak, suami, dll. Tentunya jawaban ini memang umum diutarakan oleh setiap manusia, karena pada dasarnya manusia akan merasa nyaman jika dapat hidup dan berkumpul dengan orang yang mereka sukai dan cintai. Namun, jawaban tersebut tidaklah mutlak diutarakan oleh semua orang. Tidak selamanya keluarga sendiri menjadi prioritas dan membuat mereka bahagia. Ada kalanya berkumpul dengan orang lain membuat diri mereka merasa nyaman dan bahagia. Begitu juga dengan sebagian guru yang menjawab kalau temanlah yang membuatnya bahagia. Lalu hal apa yang membuat saya bahagia? Dari sekian banyak guru-guru yang ditanyakan, akhirnya tibalah giliran saya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Awalnya saya tidak tahu hal apa yang benar-benar membuat saya bahagia, karena saya pikir semua jawaban dari guru-guru sebelumnya memanglah hal yang membuat saya juga bahagia. Akan tetapi, semua itu tidaklah selamanya benar, karena terkadang saya merasa tidak bahagia, walaupun saya sedang berkumpul dengan teman-teman atau keluarga saya. (Lagi pula kalau jawabannya sama nanti dikira ikut-ikutan :p).

Perlu beberapa detik bagi saya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sampai kemudian saya teringat akan sesuatu, dan serentak saya menjawab dalam bahasa Inggris, “I’ll be happy if I can sleep well” yang artinya “Saya akan bahagia, jika saya dapat tidur dengan nyenyak.” Memang jawabannya agak sembarang, sampai-sampai sebagian guru yang lain ada yang tertawa setelah mendengar hal tersebut. Si kepala sekolah pun mungkin sedikit bingung, dan menanyakan apakah saya pernah punya masalah susah tidur. Walaupun saya memang pernah punya masalah tidak bisa tidur nyenyak selama 3 bulan dan itu adalah saat-saat dimana saya tidak bahagia, namun semata-mata bukan itu alasan atas jawaban saya. Karena menurut saya orang yang pasti bahagia adalah orang yang bisa tidur dengan nyenyak. Entah dia punya atau belum punya pacar, miskin atau kaya, berjabatan tinggi atau rendah, berkeluarga atau tidak, jika dapat tidur nyenyak (tidak ada kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran) saat itu pasti dia orang yang berbahagia. Karena orang yang tidak bahagia pasti tidak dapat tidur dengan nyenyak. Materi, keluarga, teman ataupun pacar tidak bisa menjamin seseorang untuk bahagia dan bisa tidur dengan nyenyak. Namun, perlu ditekankan bahwa bukan karena tidurlah kita akan bahagia (walaupun tidur memang salah satu kondisi dalam meraih kebahagiaan duniawi). Tetapi sebaliknya karena merasa bahagialah kita bisa tidur dengan nyenyak. Dengan kata lain, tidur nyenyak adalah efek dari kebahagiaan. Lalu sebenarnya apa yang dapat membuat kita bahagia dan dapat tidur dengan nyenyak? Ada satu cerita yang saya pernah dengar dari seorang penceramah. Cerita ini tentang orang kaya yang memiliki segalanya. Ia memiliki harta yang berlimpah. Bisnis dan perusahaannya pun tersebar di mana-mana. Ia juga memiliki keluarga, istri yang cantik dan setia beserta anak-anaknya yang lucu-lucu. Temannya ada di mana-mana, begitu juga dengan pembantu rumahnya yang siap melayaninya kapan pun. Namun, karena pekerjaannya yang luar biasa sibuk, membuat ia harus bekerja keras siang dan malam. Tak pelik pikirannya hampir setiap hari gelisah memikirkan untung dan rugi. Terlebih lagi rasa takutnya, baik itu takut tertipu dalam bisnisnya ataupun takut akan kehilangan harta, istri, anak dan semua yang dimilikinya. Ketakutan dan kegelisahan inilah yang membuatnya tidak pernah bisa tidur nyenyak, dan sudah pasti saat itu dia tidak bahagia. Kemudian suatu malam, karena tak bisa tidur ia berjalan-jalan dengan mobil terbarunya. Saat itu ketika mobilnya melintasi sekumpulan pangkalan becak di pinggir jalan, ia melihat seorang tukang becak yang sedang tidur dengan lelap di atas becaknya. Melihat wajah si tukang becak itu, si orang kaya tadi berkata di dalam hatinya, ‘Dia yang mungkin tidak punya segalanya dapat tidur dengan nyenyak di atas becaknya, sedangkan Aku yang punya segalanya, bahkan ranjang mewah dan empukku tidak dapat membuatku tertidur dengan nyenyak. Betapa bahagianya tukang becak tersebut.’ pikir si orang kaya.

Apakah harta kekayaan, kedudukan, teman, keluarga, atau pacarkah yang dapat membuat kita bahagia? Rata-rata setiap orang menjawab bahwa mereka akan bahagia jika mereka seperti ini, mendapatkan ini, melakukan ini, menyelesaikan ini, mempunyai ini dan lain sebagainya. Tidak heran memang, terkadang kita senang mencari kebahagiaan di luar dari lingkungan dan diri kita sendiri. Kita lupa akan satu hal kalau kebahagiaan itu datangnya dari diri sendiri. Mau punya pacar atau tidak, mau berkumpul dengan keluarga, teman, atau orang yang dicintai, bahkan melakukan kegiatan yang biasanya kita senangi seperti berbelanja misalnya. Hal itu semua tidak menjamin kebahagiaan kita selama diri kita resah, gelisah, takut dan memang merasa tidak bahagia seperti si orang kaya tadi. Lalu apakah kebahagiaan itu hanya dapat kita raih jika keinginan kita sudah terlaksana atau terpenuhi? Apakah kita harus menunggu datangnya sesuatu atau mendapakan sesuatu, baru kita akan bahagia? Contohnya saja seorang guru yang menganggap hal yang membuatnya bahagia adalah mendapatkan seorang pacar. Mengapa harus menunggu mendapatkan pacar baru bisa bahagia? Lalu apakah ada jaminan jika ia mendapatkan pacar saat itu ia akan merasa bahagia? Bagaimana jika seandainya ia mendapatkan pacar, tetapi secara terpaksa karena dijodohkan oleh orang tuanya misalnya, dan ia tidak suka dengan pacarnya itu? Jika saat ini kita bisa bahagia, mengapa saat ini juga kita tidak menikmati kebahagiaan itu!? Sesungguhnya, berkumpul dengan orang yang kita cintai dan senangi pun bukan jaminan untuk bahagia, sama halnya dengan memiliki harta kekayaan dan lain sebagainya. Karena sekali lagi kebahagiaan ada di dalam diri kita sendiri saat ini, bukan yang lalu ataupun dari yang akan datang. Kebahagiaan hadir tidur pun menjadi nyenyak.

“Pavivekarasaŋ pitvā rasaŋ upasamassa ca niddaro hoti nippāpo Dhammapītirasaŋ pibaŋ” –Dhammapada BAB XV:205 (15:10)

“Ia yang menikmati hidup dalam kesendirian dan merasakan ketenangan karena tiada noda, terbebas dari kesedihan, terbebas dari kejahatan. Ia mereguk kebahagiaan hidup dalam Dhamma”

Pernah dimuat di Majalah Sinar Padumuttara edisi 5

Thanks to My MoM,Ce2k&Friends