Oleh U’un Arifien
Kalau saya ingat masa ketika perusahaan saya bangkrut sekitar tahun 1985, saya berpikir seakan dunia runtuh. Pikiran saya kalut dan setiap hari badan terasa panas dingin. Pokoknya saya merasa sengsara sekali, dan malu terhadap masyarakat Yogya yang waktu itu seakan-akan melihat saya dengan muka masam dan bibir mencibir. Saya pun malu terhadap karyawan saya yang berjumlah sekitar 100 orang, serta merasa kasihan terhadap anak-anak dan isteri saya. Tidak berhenti di situ, saya juga malu kepada semua teman dan famili, karena perusahaan yang dibanggakan akhirnya bangkrut. Belum lagi saya harus menghadapi tuntutan hukum dari rekan bisnis saya di Pengadilan Negeri Sleman. Di dalam kesulitan itu, saya hanya mempunyai tekad, saya harus survive, saya tidak boleh terpuruk berlama-lama.
Hal ini mudah ditulis, mudah dikatakan dan diceritakan, tetapi betul-betul amat sulit melakoninya. Peristiwa ini mengubah kepribadian saya menjadi seorang pemalu, minder, tidak senang bertemu orang, pokoknya saya merasa menjadi orang yang tersisih dan menyisihkan diri. Continue reading