Makhluk Kecil dan Dewa Hujan


Oleh Selfy Parkit

Aku sudah lama sekali hidup dan menetap di tempat ini. Selain nyaman, keadaan di tempat ini juga sepi, dan tiada satu pun makhluk raksasa yang menghuni. Sampai suatu ketika, datanglah makhluk raksasa pirang yang akhirnya menguasai wilayahku ini. Akhirnya, aku pun dipaksa mengungsi dan mencari tempat tinggal baru, karena makhluk raksasa itu telah menghancurkan rumahku, serta memisahkan aku dengan anak-anakku yang masih kecil. Saat itu aku tidak bisa menyelamatkan semua anak-anakku yang masih kecil, entah di mana keberadaan mereka, aku pun tidak mengetahuinya.

Ketika si raksasa memporakporandakan rumahku dengan menggunakan senjatanya, aku terpental jauh dan menempel di sebuah dahan. Aku menangis tersedu-sedu, namun si raksasa tentu saja tidak akan bisa mendengar suara tangisku, karena aku begitu kecil.

Makhluk yang kusebut raksasa ini memang mengerikan, mereka selalu saja merusak rumahku dan kaumku. Apakah mereka pikir rumah kami ini berbahaya? ataukah telah mengganggu kehidupan mereka? Mereka pikir kami mudah membuatnya! Padahal kaumku sama sekali tidak pernah mencari permusuhan dengan kaum mereka.

Continue reading

Pelindung-pelindung Dunia


Oleh : Bhikkhu Bodhi

Penerjemah : Harianto

Editor: Selfy Parkit

Patung Perdamaian, Nanjing Massacre Memorial Hall-China, Selfyparkit

Patung Perdamaian, Nanjing Massacre Memorial Hall-China, Selfyparkit

Seperti dewa dalam mitologi romawi – Janus, setiap manusia menghadapi dua arah yang berlawanan secara bersamaan. Dengan satu sisi dari kesadaran, kita memandang dengan seksama pada diri kita dan menjadi sadar terhadap diri kita sebagai individu yang dimotivasi oleh suatu desakan yang mendalam untuk menghindari penderitaan dan untuk menyelamatkan diri sendiri, serta menggapai kebahagiaan. Dengan sisi lain, kita memandang dunia ini dengan seksama dan menemukan bahwa hidup kita berhubungan satu sama lainnya, bahwa kita ada sebagai simpul dari sebuah jaringan hubungan yang amat luas dengan mahkluk lain yang nasibnya terikat dengan nasib kita. Oleh karena struktur hubungan dari keberadaan kita, kita terlibat dalam suatu interaksi dua arah yang terus-menerus dengan dunia ini: pengaruh dari dunia ini mendesak diri kita, membentuk dan merubah sikap serta pola kecenderungan diri kita, ketika sikap dan watak kita mengalir keluar ke dunia, suatu dorongan yang memengaruhi kehidupan mahkluk lain untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Kesatuan hubungan satu sama lain ini antara wilayah/ranah dalam dan luar memperoleh suatu urgensi tertentu untuk kita sekarang ini, kemorosotan standar etika yang merajarela dan menjalar di seluruh penjuru dunia. kemerosotan moral seperti ini sama tersebarnya dalam masyarakat yang menikmati taraf kemakmuran dan kestabilan yang nyaman, sama seperti di negara yang miskin dan putus asa menjadikan pelanggaran moral sebagai aspek utama perjuangan untuk bisa bertahan hidup. Tentu saja kita tidak boleh terlarut dalam fantasi warna pastel tentang masa lalu, membayangkan kita hidup di Taman Eden sampai penemuan mesin uap. Kekuatan penggerak hati manusia tidak banyak berubah selama bertahun-tahun, terhadap penderitaan manusia, dorongan tersebut telah melampaui perkiraan. Namun apa yang kita temukan sekarang ini merupakan suatu paradoks aneh yang akan menarik jika hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak baik: ketika terlihat bahwa lebih banyak yang berperilaku sesuai dengan moral dan nilai-nilai kemanusiaan, pada saat yang sama perbuatan dan perilaku yang jauh bertolak-belakang dengan nilai-nilai tersebut terjadi. Perlawanan dengan perlahan terhadap nilai-nilai etika konvensional ini merupakan sebagian hasil dari internasionalisasi perdagangan dan penetrasi global dari hampir semua media komunikasi. Keuntungan pribadi pihak tertentu, dalam rangka pencarian kekuasaan yang lebih luas dan keuntungan yang lebih besar, menghasilkan suatu aksi terorganisir bertujuan pada eksploitasi akan kerentanan nilai moral kita. Aksi ini berlanjut dalam langkah yang lebih menyeluruh, menyerbu setiap bagian dan sudut dalam hidup kita, tanpa memerhatikan konsekuensi jangka panjang terhadap individu dan masyarakat. Akibat-akibat tersebut jelas merupakan kejadian dalam masalah-masalah yang kita hadapi, masalah yang tidak terbatas oleh perbedaan bangsa: kenaikan tingkat kriminalitas, penyebaran kecanduan obat terlarang, pengerusakan lingkungan hidup, perbudakan anak dan prostitusi, perdagangan ilegal dan pornografi, penurunan nilai dalam keluarga sebagai kesatuan pendidikan moral, kepercayaan dan kasih sayang. Continue reading

Surga 33 (BAGIAN 3. JASA KEBAJIKAN)


Raja Sakka kembali dengan kemenangan ke kerajaannya di alam Surga 33. Di sebelahnya, berdiri rumah megah milik istrinya yang pertama, tumimbal lahir[1] Good-doer. Di luar rumah megah itu ada taman milik istrinya yang kedua, tumimbal lahir Beauty. Dan ada juga kolam surgawi milik istrinya yang ketiga, tumimbal lahir Happy.

Akan tetapi, Well-born telah meninggal dan terlahir kembali sebagai seekor bangau kecil di dalam hutan. Karena dewa Sakka merindukannya, ia menemuinya dan membawanya ke alam Surga 33 untuk singgah. Ia menunjukkan kepadanya rumah yang megah, taman dan kolam surgawi milik dari ketiga istrinya. Ia berkata kepadanya bahwa, dengan melakukan perbuatan yang baik, ketiga istri lainnya telah memperoleh jasa kebajikan. Jasa kebajikan ini telah memberikan mereka kebahagiaan, baik dalam kehidupan mereka sebelumnya dan pada kelahiran-kelahiran mereka.

Continue reading

Surga 33 (BAGIAN 2. KASIH SAYANG)


 

 

Pada saat itu, di zaman dahulu kala, ada beberapa dewa jelek tidak beruntung yang disebut “Asura”. Mereka dibawa untuk tinggal di alam surga tingkat ke dua.

Seseorang yang pada kehidupan lampaunya menjadi Magha yang Baik, sekarang adalah Sakka, Raja dari alam Surga 33. Ia berpikir, “Kenapa kita harus, yang merupakan tiga puluh tiga dewa, tinggal di alam Surga kita dengan para Asura jelek tidak beruntung ini? Karena ini adalah dunia kita, marilah kita hidup bahagia dengan diri kita sendiri.”

Kemudian ia mengundang para Asura ke sebuah pesta dan menyuruh mereka mabuk dengan minuman keras yang sangat memabukan. Tampaknya, dengan dilahirkan kembali, Raja Sakka telah melupakan beberapa ajarannya sendiri sebagai Magha yang Baik. Setelah membuat para Asura mabuk, ia membawa mereka pergi ke alam surga yang lebih rendah, yang sama besarnya dengan alam surga 33.

Continue reading

SURGA 33 (BAGIAN 1. KERJASAMA)


 

Pada suatu ketika, saat Raja Magadha memerintah, ada seorang suci muda yang disebut, “Magha yang Baik”. Ia tinggal di desa terpencil yang hanya terdiri dari tiga puluh keluarga. Ketika ia masih muda, orang tuanya menikahkannya dengan seorang gadis yang memiliki kualitas karakter yang serupa dengan dirinya. Mereka sangat bahagia bersama, dan istrinya memberikannya beberapa orang anak.

Para penduduk desa menghormati Magha yang baik karena ia selalu mencoba untuk membantu dalam mengembangkan desa, untuk kebaikan semuanya. Karena mereka menghormatinya, ia mampu untuk mengajarkan Lima Latihan, untuk menyucikan pikiran, ucapan dan perbuatan mereka.

Cara Magha dalam mengajarkan adalah dengan praktik. Salah satu contoh hal ini terjadi ketika suatu hari para penduduk desa berkumpul untuk mengerjakan kerajinan tangan. Magha yang Baik membersihkan sebuah tempat untuk dia duduk. Sebelum dia duduk, seseorang yang lain telah mendudukinya. Jadi ia dengan sabar membersihkan tempat yang lain. Seorang tetangga duduk di tempatnya lagi. Hal ini terulang dan terulang lagi, sampai ia sudah dengan sabar membersihkan tempat duduk untuk semua yang hadir. Hanya dengan demikian ia dapat duduk di tempat yang terakhir.

Continue reading

DEWA DI POHON BANYAN (Janji Yang Buruk)


Di masa lalu, dan bahkan di beberapa tempat saat ini, banyak orang sudah memiliki takhayul. Salah satu takhayul adalah bahwa sebuah pohon besar atau aneh dihuni oleh dewa pohon atau beberapa jenis jin. Mereka berpikir bahwa mereka dapat membuat perjanjian kepada dewa pohon ini. Jadi si Dewa pohon akan membantu mereka dalam berbagai cara. Ketika mereka berpikir dewa sudah membantu mereka, maka mereka harus menepati janji mereka.

Pada suatu ketika, di dalam sebuah kota bernama Kasi di India Utara, seorang pria menemukan sebuah pohon Banyan yang besar. Dengan serta merta ia berpikir pasti ada dewa yang tinggal di sana. Maka ia membuat sebuah janji kepada dewa pohon ini bahwa ia akan mengorbankan seekor binatang, sebagai ganti atas permohonannya yang dikabulkan.

Akhirnya permohonannya dikabulkan, tapi apakah itu oleh dewa atau siluman atau oleh beberapa makhluk lain – tak seorang pun tahu. Pria itu yakin kalau dewa pohon sudah menjawab doanya, untuk itu ia ingin memenuhi janjinya.

Karena permohonannya itu adalah permohonan yang besar, maka memerlukan pengorbanan yang besar pula. Ia membawa banyak kambing, keledai, ayam dan domba. Ia mengumpulkan kayu bakar dan siap untuk membakar binatang-binatang tak berdaya itu sebagai korban.

Jin yang hidup di pohon Banyan menampakkan dirinya dan berkata, “Oh teman, kau berjanji, sekarang kau terikat oleh janji itu. Kau pikir kau harus memenuhi janji itu dengan maksud agar dibebaskan dari perbudakan terhadap hal tersebut. Tetapi jika kau melakukan perbuatan yang sangat buruk, tidak bermanfaat itu, meskipun itu janji, hasil yang tidak menyenangkan akan menempatkan dirimu di dalam perbudakan yang lebih besar. Untukmu akan dipaksa menderita oleh akibat-akibat itu di dalam kehidupan ini, dan bahkan dengan terlahir kembali di alam-alam neraka! Cara untuk membebaskan dirimu sampai dengan pembebasan masa yang akan datang adalah menghentikan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, apa pun persoalannya!”

“Lagi pula, karena kau pikir aku adalah benar-benar dewa, apa yang membuat kau berpikir aku memakan daging? Pernahkah kau mendengar bahwa kami para dewa makan sesuatu yang lebih baik seperti ambrosia (makanan sunguhan dewa-dewa dalam mitologi yunani, masakan yang terdiri dari pisang yang diiris-iris, jeruk, gula, dan kelapa) atau debu bintang atau sinar matahari? Aku tidak membutuhkan persembahan daging ataupun makanan lainnya.” Kemudian ia menghilang.

Si Pria bodoh itu mengerti akan kesalahan yang sudah dibuatnya. Daripada melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah yang akan berakibat ketidakbahagiaan untuk dirinya di masa yang akan datang. Ia mulai hanya melakukan perbuatan-perbuatan berfaedah yang akan memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Pesan moral : Memenuhi janji yang buruk, lebih buruk daripada membuatnya.

Diterjemahkan oleh Selfy Parkit.

Sumber: Prince Goodspeaker – Buddhist Tales for Young and Old Volume 1, Stories 1-50