Dua Sahabat


By Selfy parkit

“Dag… dig… dug…” Jantung Sonya berdetak kencang, pupil matanya mulai membesar, setelah lama terdiam ia pun membuka mulutnya dan dengan lantang ia berkata. “I love you.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya seiring dengan napasnya yang masih tak beraturan.

Sesaat saja semuanya senyap hingga bunyi detik jam dinding memecah kesunyian, setelah kemudian akhirnya ia mendengar kata, “No, I can’t.

Jantung Sonya seakan berhenti berdetak, balasan yang ia dengar sungguh di luar harapannya. “Ah klasik…” lirihnya pelan, “… kau pasti sudah tahu apa pertanyaanku selanjutnya, bukan?”. Sambil membendung luapan tangis kekecewaan di dalam hatinya, Sonya meneguk secangkir kopi yang ada di hadapannya.

Laki-laki itu pun menanggapi, “Bukan karena kau tidak menarik, dan bukan karena aku tidak menyayangimu, It’s because…” lanjutnya lagi “… I am a gay. Aku… kau mengerti kan maksudku?”
Continue reading

SAHABAT BAIK (Kekuatan Persahabatan)


Jauh sebelum ada cerita ini, orang-orang di Asia terbiasa mengatakan bahwa tidak akan pernah ada waktu dimana seekor gajah dan seekor anjing menjadi sahabat. Gajah sama sekali tidak menyukai anjing dan anjing takut kepada gajah.

Saat anjing ketakutan terhadap sesuatu yang lebih besar darinya, mereka sering mengonggong sangat keras untuk menutupi rasa takut. Anjing terbiasa melakukannya saat mereka melihat gajah, gajah akan merasa terganggu dan mengejar mereka. Gajah menjadi tidak sabar sama sekali jika anjing datang. Bahkan jika seekor anjing diam dan tidak bergerak, gajah di dekat mana pun akan otomatis menyerangnya. Inilah sebabnya mengapa setiap orang setuju bahwa gajah dan anjing adalah musuh alami, sama seperti singa dan macan atau kucing dan tikus.

Suatu hari, ada seekor gajah jantan kerajaan yang sangat sehat dan terawat. Di lingkungan kandang gajah terdapat seekor anjing kurus kering, kelaparan dan liar. Ia tertarik dengan wangi nasi yang lezat dari makanan gajah kerajaan. Jadi ia mulai menyelinap masuk ke kandang dan memakan nasi lezat yang jatuh dari mulut gajah. Ia sangat menyukainya, sehingga mulai saat itu anjing tidak akan makan di tempat lain. Saat menikmati makanannya, gajah yang besar dan kuat tidak mengetahui kehadiran anjing kecil, liar dan pemalu.

Setelah memakan banyak makanan, anjing yang makan dari sisa makanan menjadi besar dan kuat juga sangat tampan. Gajah yang baik mulai memperhatikannya. Karena anjing itu sudah terbiasa berada di sekitar gajah, ia kehilangan rasa takutnya. Sehingga ia tidak mengonggong. Karena gajah tidak terganggu dengan anjing yang bersahabat itu, gajah perlahan-lahan menjadi terbiasa dengannya.

Lambat laun mereka menjadi lebih ramah dan lebih ramah satu sama lain. Tak lama kemudian, tak satu pun akan makan tanpa yang lainnya, dan mereka menikmati kebersamaan mereka. Ketika mereka bermain, si anjing akan menangkap belalai gajah, dan gajah akan mengayunkannya ke depan dan ke belakang, dari samping ke samping, ke atas dan ke bawah, dan bahkan memutar. Sehingga mereka menjadi “sahabat baik”, dan tidak pernah mau dipisahkan.

Kemudian suatu hari, seorang laki-laki dari desa terpencil yang mengunjungi kota, melewati kandang gajah. Dia melihat anjing lincah, yang menjadi kuat dan tampan. Dia membeli anjing dari penjaga (mahout), walaupun si penjaga sesungguhnya bukan si pemilik anjing. Dia membawa anjing itu ke rumahnya di desa, tanpa seorang pun tahu keberadaannya.

Tentu saja, gajah jantan kerajaan menjadi sangat sedih ketika dia kehilangan teman baiknya, anjing. Dia menjadi sangat sedih sampai dia tidak mau melakukan apa pun, tidak juga makan, minum atau mandi. Jadi penjaga melaporkannya ke raja, walaupun dia tidak mengatakan apa pun tentang penjualan anjing.

Hal ini terjadi saat raja mempunyai menteri yang pandai dan mengerti binatang. Untuk itu Raja memerintahkan menteri untuk pergi dan mencari tahu penyebab dari kondisi si gajah.

Menteri  yang bijaksana pergi ke kandang gajah. Dia melihat sesekali gajah jantan kerajaan sangat sedih. Dia berpikir, “Gajah ini sepertinya tidak sakit. Tetapi aku pernah melihat kondisi ini sebelumnya, sama seperti pada manusia dan binatang. Kesedihan gajah ini mungkin disebabkan oleh kehilangan sahabat dekatnya.”

Kemudian menteri berkata kepada pengawal dan pengunjung, “Aku tidak menemukan penyakit. Ia terlihat amat sedih karena kehilangan seorang sahabat. Apakah kamu tahu jika gajah ini mempunyai persahabatan yang sangat dekat dengan sesuatu?”

Mereka memberi tahu menteri betapa gajah kerajaan dan anjing liar adalah teman baik. “Apa yang terjadi dengan anjing liar ini?” tanya menteri. “Ia telah dibawa pergi oleh seseorang yang tidak dikenal,” jawab mereka, “dan kami tidak mengetahui di mana dia sekarang.”

Kemudian menteri kembali menemui raja dan berkata “Raja, aku sangat senang mengatakan bahwa gajah Anda tidak sakit. Mungkin terdengarnya aneh, gajah itu menjadi sahabat baik anjing liar! Sejak anjing itu telah dibawa pergi, gajah Anda sangat sedih dan tidak merasa ingin makan, minum atau mandi. Ini adalah pendapatku.”

Raja berkata, “Persahabatan adalah satu hal yang paling indah dalam kehidupan. Menteriku, bagaimana kita bisa membawa kembali sahabat gajahku dan membuatnya bahagia lagi?”

“Raja,” jawab menteri “Aku menyarankan Anda membuat pengumuman resmi, barang siapa mempunyai anjing yang pernah tinggal di kandang gajah kerajaan, akan diampuni.”

Hal ini dilakukan raja, dan ketika warga desa itu mendengarnya, dia melepaskan anjing itu dari rumahnya. Anjing sangat bahagia dan lari secepat mungkin, kembali ke sahabat baiknya, gajah jantan kerajaan.

Gajah sangat senang, dia mengangkat sahabatnya dengan belalainya dan mendudukannya di atas kepalanya. Anjing yang bahagia itu mengibas-ibaskan ekornya, sedangkan mata gajah berbinar-binar gembira. Mereka berdua hidup bahagia selamanya.

Sementara itu, Raja sangat senang gajahnya telah kembali baik. Raja kagum dengan menterinya yang nampaknya mampu membaca pikiran seekor gajah. Jadi dia memberikan hadiah yang sesuai.

Pesan moral: Bahkan ‘Musuh alami’ pun dapat menjadi sahabat baik.

Diterjemahkan oleh Novita Hianto, editor Selfy Parkit.

Sumber: Prince Goodspeaker – Buddhist Tales for Young and Old Volume 1, Stories 1-50

ANGIN DAN BULAN (Persahabatan)


Pada suatu ketika, ada dua teman baik yang hidup bersama di sebuah tempat berteduh dari batu. Ini mungkin terlihat aneh, satunya adalah seekor singa dan yang satu lagi seekor macan. Mereka sudah bertemu sejak mereka masih terlalu muda untuk mengetahui perbedaan antara singa dan macan. Jadi mereka tidak berpikir sama sekali kalau persahabatan mereka itu luar biasa. Ditambah lagi, tempat itu adalah bagian dari gunung-gunung yang tentram. Barang kali karena pengaruh dari seorang bhikkhu hutan lemah lembut yang tinggal di dekat tempat itu. Ia adalah seorang petapa yang tinggal jauh dari penduduk.

Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, suatu hari dua orang teman tersebut masuk ke dalam perbedaan pendapat yang bodoh. Si Macan berkata, “Setiap orang tahu kalau rasa dingin datang ketika bulan susut dari purnama ke bulan mati.” Si Singa berkata, “Dari mana kau mendengar omong kosong tersebut?” “Setiap orang tahu kalau rasa dingin datang ketika bulan bertambah besar dari bulan mati ke purnama!”

Percecokan itu menjadi kuat dan kuat. Tidak ada satu pun yang dapat menyakinkan yang lainnya. Mereka tidak dapat menghasilkan kesimpulan apa pun untuk menyelesaikan perdebatan yang semakin membesar itu. Mereka bahkan mulai memanggil nama masing-masing satu sama lainnya! Khawatir akan persahabatannya, mereka memutuskan untuk pergi dan bertanya kepada bhikkhu hutan terpelajar yang pasti akan tahu tentang hal semacam itu.

Singa dan macan Mengunjungi si petapa yang penuh ketenangan, mereka menunduk memberi hormat dan menanyakan pertanyaan mereka kepadanya. Si Bhikkhu yang bersahabat tersebut berpikir sejenak dan kemudian memberikan jawabannya, “Bisa saja dingin pada bentuk bulan apa pun, dan bulan mati ke bulan purnama dan kembali ke bulan mati lagi. Anginlah yang membawa rasa dingin, apakah itu dari barat, utara ataupun timur. Untuk itu, sedikit banyak kalian berdua benar! Dan tidak ada satu pun dari kalian yang dikalahkan oleh yang lainnya. Hal yang paling penting adalah hidup tanpa perselisihan, untuk tetap bersatu. Kebersamaan tentu saja adalah yang terbaik.”

Singa dan Macan berterima kasih kepada petapa yang bijaksana. Mereka bahagia masih menjadi teman.

Pesan moral : Cuaca datang dan pergi (berubah-ubah), namun persahabatan harus tetap terjalin.

Diterjemahkan oleh Selfy Parkit.

Sumber: Prince Goodspeaker – Buddhist Tales for Young and Old Volume 1, Stories 1-50

Sekat-Sekat Hubungan


Oleh Selfy Parkit

Memiliki seorang teman yang baik adalah suatu berkah yang tak terkira, apalagi seorang teman spiritual yang dapat membawa kita ke kemajuan batin. Tetapi untuk dapat berteman dengan baik, sebelumnya kita harus bisa menembus sekat-sekat yang menghalangi kita dalam menciptakan suatu hubungan yang baik. Lalu apakah yang menyebabkan banyaknya sekat di dalam menjalin suatu hubungan? Di dalam hubungan masyarakat dan sosial, pernahkah Anda merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang-orang tertentu di kehidupan Anda??? Pastinya kebanyakan dari Kita yang berprinsip teguh pernah merasakan hal itu. Eit.. tapi yang berprinsip teguh yang mana dan dalam hal apa dulu??? Prinsip yang satu inilah yang berbahaya, yaitu berprinsip teguh bahwa pandangan dan pola pikir sendirilah yang paling benar dan yang lain salah besar. Lalu, karena yang satu itu tidak mau menerima pandangan kita, maka kita anggap orang itu sebagai lawan dan kita merasa tidak nyaman akan kehadirannya di lingkaran kehidupan kita.

Merasa benar sediri saja sudah menjadi sekat dalam hubungan pertemanan, apalagi ditambah berpikir bahwa yang lain itu salah. Dulu ketika pertama kali saya menjalin hubungan serius dengan seseorang, saya baru menyadari bahwa ternyata setiap manusia punya sekat yang dibuatnya sendiri, sekat-sekat dalam hal berhubungan. Awalnya saya belum mengerti mengapa ada manusia yang memiliki complicated relationship (hubungan yang ruwet) antar sesama. Padahal pada prinsip dan teorinya setiap masalah yang terjadi di antara sesama manusia pastinya dapat diselesaikan, maka otomatis setiap hubungan akan baik-baik saja. Tetapi mengapa begitu banyak manusia yang membenci dan tak mau berhubungan dengan sesamanya??? Saat itu orang yang pernah dekat sekali dengan saya ini mengatakan kepada saya kalau dia tidak menyukai teman saya yang juga merupakan guru spiritual saya, dengan alasan guru saya ini terlalu kaku dan berpandangan sempit. Satu hal lagi, orang yang saya sayang ini tidak suka dengan teman saya yang juga merupakan ketua kebaktian, dan saya masuk di bawah kepemimpinannya. Menurutnya sikap dan pemikiran mereka tidak sesuai dengan teori-teori dan prinsip-prinsip yang ada di kepalanya. Hasilnya, orang yang saya harapkan bisa mengenal semua teman-teman saya ini tidak mau mengenal kedua orang tadi dan merasa tidak nyaman kalau kami berada di dekat mereka. Memang mungkin benar adanya sifat-sifat, pandangan si guru spiritual dan cara kepemimpinan si ketua kebaktian tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan dan dimiliki. Tetapi pertanyaannya adalah apakah hal yang seharusnya itu? Pembenaran terkadang hanya ada di dalam pikiran masing-masing. Begitu pula pembenaran di dalam pemikiran pacar saya saat itu yang menganggap si guru spiritual dan ketua kebaktian tidak sesuai dengannya. Lalu, mengapa sekat dalam hubungan itu akhirnya terbentuk???

EGO Menjadi Sang Pembatas

EGO tiga huruf besar yang selalu membayangi kehidupan manusia. Mau bukti bagaimana sang EGO berperan?? Kisah ini dialami oleh guru spiritual saya sendiri yang tadi dikatakan selalu memegang prinsip, tetapi saat ini dia sudah berubah karena memang dia punya kesadaran atas prilakunya. Dulu dia sering bentrok dan membuat sekat hubungan yang cukup tebal dengan temannya yang juga sama-sama seorang guru spiritual. Temannya ini lebih mementingkan hal-hal praktis, materi, dan terkadang beliau berpandangan bahwa uang dan bisnis itu penting. Sedangkan guru spiritual saya lebih mementingkan hal-hal religius dan beranggapan bahwa nilai spiritual tidak seharusnya disamakan dengan bisnis dan uang. Otomatis segala tindakan mereka berdua selalu saja bertentangan. Saya yang saat itu masih remaja dan cukup hijau tak mau mencampuri urusan keduanya, otomatis saya tak punya masalah dengan keduanya dan bisa saja berhubungan dengan keduanya. Itulah enaknya, saya bisa jalan dengan guru saya, lalu beberapa menit kemudian bisa ngobrol-ngobrol dengan temannya itu. Setelah mengikuti keduanya, pada dasarnya apa yang mereka utarakan masing-masing ada benarnya, tak ada yang disalahkan dan masuk akal juga. Tetapi kenapa masing-masing dari mereka menganggap bahwa pemikiran satu sama lainnya salah. Mengapa si guru A menganggap si guru B salah dan sebaliknya??? Sedangkan saya yang berada di tengah-tengah, menerima informasi, pandangan dan pemikiran mereka dengan pikiran kosong serta tidak memihak, menganggap hal itu biasa saja. Apa yang terjadi dengan si Guru A dan si Guru B? Mereka ternyata telah membangun sekat-sekat yang dibuatnya sendiri, karena masing-masing menganggap orang lain salah dan tidak sesuai dengan pemikirannya. Ego yang berperan dan menjadi pembatas di antara hubungan mereka dan setiap manusia.

Perlu Terbuka dan Saling Memahami

Satu obat bagi sang Ego untuk bisa mengenali jati dirinya adalah memberikannya pengertian dan berusaha memahami. Kalau saja pacar saya saat itu mau membuka sedikit ruang untuk mengobrol dengan kedua orang yang dianggapnya tidak asik untuk berhubungan, pastinya ia akan lebih mengerti dan memahami. Karena setahu saya guru spiritual saya itu tidak seburuk yang dibayangkannya, walaupun dia agak sedikit memegang prinsip (keras dan kaku dengan prinsipnya), akan tetapi pada dasarnya dia punya kesadaran atas prilaku yang dibuatnya dan mau mengoreksi diri. Begitu juga halnya dengan ketua kebaktian saya, walaupun memang cara kepemimpinannya saat itu banyak menerima protes, tapi saya mengenal betul kalau wanita ini adalah seseorang yang mau menerima kritikan dan masukan, hanya saja perlu waktu untuk banyak belajar dalam mengubah cara kepemimpinannya. Sama pula dengan si kedua guru spiritual tadi, Kalau saja si kedua guru spiritual saling mau menanyakan kabar masing-masing dan mau membuka diri akan pemikiran dan pandangan masing-masing, serta berusaha memahami satu sama lain, tentunya pemikiran dan hubungan mereka akan lebih baik lagi karena masing-masing dapat melihat dari sisi pandang yang berbeda. Namun pada dasarnya Ego akan Harga Diri mengerem semua laju perbaikkan, dan menghentikan semua niatan baik yang muncul karena merasa harga dirinya terlalu mahal untuk mengakui bahwa prinsip dan pandangannya belum tentu benar adanya.

Lihatlah dan Kenali Lebih Dalam Mereka Itu Berubah

Jika dirasakan dengan jujur, diperhatikan lebih dalam, Pandangan, pikiran, prinsip, perasaan, kesadaran dan lain sebagainya selalu berubah-ubah. Seakan-akan terlihat seperti mesin yang sedang menjalankan proses, yaitu proses kesadaran, proses pemikiran, proses perasaan dan proses-proses lainnya. Kita selalu dekat dengannya, akan tetapi kita bodoh, kita seakan-akan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu kalau pada dasarnya setiap pandangan, pemikiran, perasaan, kesadaran dan lain-lain itu selalu berubah. Kita memandang seseorang dengan apa yang mereka miliki dan terlihat nyata bagi kita saat itu. Kita tidak menyadari bahwa itu pun akan berubah. Namun pada dasarnya kita melihat ilusi yang diciptakan dari pikiran. Ya… ilusi-ilusi itu sudah berhasil baik dalam memainkan peranannya, dan sudah sukses dalam mengecohkan kebenaran serta banyak memberikan sekat-sekat di dalam kehidupan. Ilusi-ilusi yang bersumber dari kebodohan, kebencian dan keserakahan manusia dan makhluk di alam semesta.

Penakluk sang Ego

Untuk membuka diri, mengakui kesalahan dan saling meminta maaf adalah hal yang dirasakan sulit oleh sebagian orang yang merasa hal itu sulit. Perlu waktu bagi mereka untuk menaklukan sang Ego dan berdamai dengan harga dirinya. Tetapi ada satu hal yang sebenarnya tidak kita sadari, bawasanya sang Ego akan takluk dengan rasa kasihan dan kasih sayang. Merasakan penderitaan orang lain, dan merasakan kesamaan penderitaan yang kita alami akan memunculkan kasih sayang yang luar biasa, serta tidak tega untuk menyakiti ataupun memusuhi makhluk lain. “Semua makhluk hidup adalah sahabat penderitaan, yang rentan terhadap kesulitan.” Cobalah kita renungkan satu buah puisi di bawah ini :

Kita adalah satu

Kita adalah tetesan dari satu samudera.

Kita adalah ombak dari satu laut.

Kita adalah pohon dari satu rimba.

Kita adalah buah dari satu pohon.

Kita adalah daun dari satu cabang.

Kita adalah bunga dari satu kebun.

Kita adalah bintang dari satu langit.

Kita adalah cahaya dari satu mentari.

Kita adalah jari dari satu tangan.

Kita adalah anggota dari satu keluarga.

Dunia adalah satu keluarga.

Bumi adalah satu negeri.

(Sri Dhammananda 86)

Jika saja pikiran kasih sayang ini kita kembangkan setiap harinya, tentu saja segala pemikiran maupun pandangan yang berbeda dari orang lain tidak akan mengganggu dan membuat kita merasa tidak nyaman jika bersama dengan orang tersebut. Takkan ada ruang lagi bagi sang Ego untuk berkeliaran dan datang mengusik. Dengan begitu sekat-sekat dalam hubungan pertemanan secara otomatis akan mulai hancur satu persatu, karena kita merasa satu dengan mereka. Inilah keadaan yang disebut sebagai salah satu dari berkah yang sesungguhnya.

Daftar pustaka:

Dhammananda, Sri. “Be Happy – Mengatasi Takut dan Cemas Dari Akarnya dan Berbahagia Dalam Segala Situasi”, Yayasan Penerbit Karaniya: 2004