Kebajikan Dengan Menjaga Lingkungan


Oleh Selfy Parkit

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti program kegiatan Yayasan Tzu Chi Indonesia selama 3 hari 2 malam. Program ini bernama Tzu Ching Camp IV, Tzu Ching sendiri adalah bagian dari Yayasan Tzu Chi yang beranggotakan anak-anak muda yang masih berkuliah. Di dalam kegiatan tersebut kami diberikan makalah-makalah mengenai pengenalan Tzu Chi , visi dan misinya. Kami juga dikenalkan mengenai pelestarian lingkungan, bagaimana berbakti kepada orang tua dan yang paling penting adalah praktik kebajikan dengan berkunjung ke tempat orang-orang yang membutuhkan dan telah mendapatkan bantuan dari Yayasan Tzu Chi, kegiatan ini dikenal dengan nama Kunjungan Kasih.

Sebagai lembaga sosial yang lintas agama, suku ras dan Negara, Tzu Chi yang dibangun di Taiwan oleh Master Cheng Yen ini sudah bertahan selama 43 tahun dengan 4 misi kebajikannya yaitu; Misi amal, dengan membantu orang yang membutuhkan baik secara moral dan materi seperti memberikan sembako, beras untuk farkir miskin ataupun bantuan bagi korban bencana alam dll. Misi pengobatan, dengan memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang yang tak mampu sampai dengan membangun Rumah Sakit-Rumah Sakit. Misi Pendidikan, dengan memberikan beasiswa dan membangun sekolah yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan saja namun juga mengajarkan tentang jiwa kemanusiaan. Misi yang terakhir adalah Misi Budaya Kemanusiaan yaitu dengan mendokumentasikan semua kegiatan-kegiatan Tzu Chi guna untuk menyebarkan benih-benih  Buddha dan welas asih ke seluruh penjuru dunia melalui media Internet, media massa, dan televisi.

Master Cheng Yen (kanan), Pendiri Buddha Tzu Chi sedang membagi kasih.

Di hari pertama kegiatan melalui pengenalan pelestarian lingkungan kita diperlihatkan sebuah rekaman video mengenai aksi dari para relawan Tzu Chi Taiwan yang membantu korban bencana alam di Taiwan, dengan memberikan makanan dan air bersih untuk masyarakat yang terjebak dalam banjir. Banjir yang memperlihatkan penderitaan saudara kita yang berada di Taiwan Selatan ini disebabkan oleh Badai Morakot yang terjadi tepatnya tanggal 08 Agustus 2009 setelah tengah malam. Ibarat hujan yang seharusnya turun dalam satu tahun kini turun dalam satu hari dan menyebabkan banjir serta banyak menenggelamkan daerah di Taiwan Selatan seperti seluruh kota Xiaolin, Kiling dan kotapraja Jiaxian yaitu sebuah perkampungan yang berada di gunung dengan jumlah penduduk sekitar 1.300 orang. Perkampungan tersebut kini tertutup oleh lumpur yang menghancurkan banyak kota dan menyebabkan banyak korban. Ratusan korban meninggal dan hilang dalam kejadian tersebut, ratusan lainnya harus terperangkap dalam banjir serta kekurangan makanan dan air bersih. Mengapa bencana-bencana alam semacam ini bisa terjadi? Kejadian di Taiwan hanyalah contoh dari sebagian kecil bencana alam yang terjadi di dunia yang tanpa disadari bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah ulah manusia itu sendiri yang tak menjaga lingkungan.

Bumi kita Adalah Rumah Kita Bersama

Seperti kita ketahui manusia di dunia ini hidup saling berhubungan dan bergantungan satu sama lain. Bukan saja saling membutuhkan antara sesama, bahkan manusia pun menggantungkan hidupnya kepada alam, tanpa alam dan lingkungan yang baik maka manusia sulit untuk bertahan hidup. Bumi ini bagaikan rumah kita sendiri, jika saja bumi ini dirusak maka kita pun tak dapat hidup di dalamnya. Namun karena keegoisan dan keserakahan manusia tak sedikit tidakan-tindakan yang dilakukan malah merugikan alam, lingkungan dan orang banyak. Ironisnya tindakan tersebut dilakukan secara sadar dan hanya untuk kenyamanan sesaat saja tanpa pernah memikirkan dampak yang akan terjadi di masa mendatang. Contohnya saja penebangan hutan liar secara berlebihan demi memperbanyak keuntungan pribadi atau golongan tertentu tanpa melakukan tindakan penanaman kembali. Akibatnya, bencana alam kebanjiran dan longsor terjadi di mana-mana, menyebabkan banyak korban, kerusakan serta kerugian materi yang tidak sedikit. Bukan hanya keegoisan dan keserakahan saja yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, namun kecerobohan dan ketidaktahuan manusia pun ternyata ikut berperan serta dalam hal ini. Misalnya, membuang sampah sembarangan ataupun pemborosan besar-besaran seperti menyalahkan listrik berlebihan di siang hari atau menghidupkan AC di ruangan kosong, dan yang sering terjadi lagi adalah pembelian barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.

Kini saatnya kita sadar untuk tidak serakah, egois, ceroboh apalagi boros demi bumi kita, rumah kita dan tempat tinggal kita bersama dengan orang-orang yang kita cintai. Berbuat bajik bukan hanya dengan berdana saja, bukan hanya melakukan pengobatan gratis saja, dan bukan memberikan pendidikan saja, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga lingkungan serta memiliki kesadaran terhadap lingkungan.  Jika saja masing-masing dari kita sudah memiliki kesadaran dan peduli akan lingkungan, tentunya keindahan bumi ini pun akan bertahan lama.

Bukan Hanya Teori Tapi Praktik

Salah satu penyebab terjadinya banjir adalah sampah yang membuat macet aliran-aliran pembuangan air, mengapa banyak sampah yang berserakan di mana-mana? Tentu saja hal ini terjadi karena ulah manusia yang membuang sampah sembarangan. Marilah kita bukan hanya sekedar berteori tetapi berpraktik dalam kebajikan dengan contoh kecilnya saja dalam menjaga lingkungan yaitu dengan membuang sampah pada tempatnya. Coba pikirkan seberapa besar dampak yang dihasilkan dari tidak membuang sampah sembarangan, dan sudah seberapa besar kebajikan yang kita lakukan dengan membuang sampah pada tempatnya. Di dalam Yayasan Tzu Chi sendiri dikenal konsep 5 R dalam melestarikan lingkungan, yaitu; Re-think (menimbang ulang) – membeli barang sesuai kebutuhan, Reduce (mengurangi)—mengurangi yang tidak perlu, Re-use (menggunakan kembali), Repair (memperbaiki), Recycle (mendaur ulang). Dalam mendaur ulang Yayasan Tzu Chi sendiri mempunyai motto “Sampah menjadi emas, emas menjadi cinta kasih”. Sampah-sampah tersebut tidak dibuang percuma tetapi dimanfaatkan dengan cara didaur ulang. Ya daur ulang, hari pertama yang saya lakukan di kegiatan tersebut adalah melakukan pemilahan sampah di tempat daur ulang Yayasan Tzu Chi Indonesia. Gundukan sampah dengan bau yang menyengat, kotor dan bahkan ada yang bilang menjijikan tidak ada artinya lagi bagi para peserta Camp di sana. Mereka semua dengan antusias dan bersemangat mengesampingkan ego mereka untuk datang menghampiri gundukan sampah dan memilah-milah sampah tersebut. Lihat betapa indahnya kebajikan yang kita lakukan dalam menjaga lingkungan, menjaga kehidupan dan anak cucu kita serta generasi yang akan datang. Kebajikan yang kita lakukan telah memberikan tempat tinggal yang layak bagi mereka di masa depan.

Pernah diterbitkan di Majalah Warta Dharma Ratna Edisi Kathina 2553 BE/2009 No.28

Thanks to My Parents, Ancestor and My Friends in Tzu Ching Camp IV

Warung Kejujuran



By Selfy Parkit

“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” mungkin pepatah tersebut sering sekali kita dengar di kalangan masyarakat, namun dalam arti yang positif tentunya. Lalu bagaimana jadinya kalau pepatah tersebut dipakai dalam istilah korupsi? “Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi kaya raya”, wah mungkin begitu jadinya, dan tak sedikit dari para koruptor di sana yang mungkin juga berprinsip semacam ini. Sedikit memang, tetapi perbuatan yang sedikit tersebut berdampak besar dan merugikan banyak pihak.

Jika berbicara tentang korupsi rasanya tidak akan pernah ada habisnya, mulai dari korupsi uang, dana ini-itu, maupun korupsi waktu yang kita tidak disadari dan lain sebagainya. Apalagi di negara kita yang tercinta ini yang pada tahun lalu menempati peringkat korupsi urutan ke 111 dari 180 negara di dunia. Segala usaha pengawasan dilakukan untuk memberantas korupsi, namun sepertinya usaha tersebut tetap tidak menghilangkan kebiasaan si para koruptor tersebut untuk bertobat dan berhenti mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Namun di tengah-tengah maraknya berita korupsi dan usaha penanggulangannya tersebut, salah satu sekolah SMP Buddhi di Tangerang malah menyediakan fasilitas sekolah yang rentan korupsi. Seperti apakah fasilitas tersebut? tentunya Anda sedikit penasaran.

Fasilitas ini berupa sebuah warung dengan nama “Warung Kejujuran” Warung ini bukan hanya sekedar nama, tetapi benar-benar sebuah warung yang menantang Anda apakah Anda orang yang jujur atau tidak. Sejauh manakah warung ini menguji kejujuran para siswa??

Layaknya sebuah warung, sudah pasti akan ada barang yang di jual, ya barang-barang jualan tersebut ditempatkan di dalam satu buah etalase kaca yang di sampingnya terdapat label nama ‘Warung Kejujuran SMP Buddhi’. Etalase kaca yang lebarnya berukuran + 2 meter dengan tinggi tidak lebih dari satu meter itu menjual berbagai macam keperluan alat tulis, mulai dari buku, pensil, pulpen penghapus dan lain sebagainya. Namun tidak hanya itu saja, ada pula makanan dan barang-barang keperluan siswa.

Bukan saja namanya yang unik, akan tetapi cara kerjanya pun ternyata unik. Tepat di atas kaca sebelah dalam terdapat selembar kertas yang menerangkan bagaimana cara membeli barang di warung tersebut. Dengan cara inilah kejujuran Anda (khusunya siswa-siswi SMP Buddhi) diuji. Anda hanya perlu meletakan uang ke dalam kaleng tempat uang seharga barang yang Anda beli, lalu mencatatnya ke dalam buku yang sudah disediakan, gampangkan! Anda hanya tinggal langsung mengambil barang yang diinginkan. Jika perlu uang kembalian, anda hanya tinggal mengambilnya di kaleng uang.

Warung yang modalnya dikumpulkan secara kolektif dari para guru dan murid ini, bertujuan untuk mengajarkan siswa-siswi untuk bertindak jujur, bukan hanya teori tetapi dalam praktik yang nyata. Bukan juga membatasi atau hanya mengawasi anak untuk tidak melakukan pencurian, korupsi atau perbuatan tidak jujur. Akan tetapi, memberikan kesempatan kepada anak untuk melatih kejujuran. Warung ini sendiri sudah mulai beroperasi sejak bulan September 2009 dan dikelolah oleh ibu HJ.Sabihah Spd dengan dibantu oleh anak-anak OSIS. Guru IPA yang sudah mengajar selama kurang lebih 25 tahun ini pun menyatakan bahwa awalnya memang tidak mudah untuk menanamkan kejujuran kepada para siswa-siswi, mengingat warung ini sudah empat kali mengalami kebangkrutan, alias barang dan uangnya habis tanpa sisa. Namun karena pentingnya akan tujuan dari pendidikan yang dalam hal ini melatih anak untuk bersikap jujur, Ibu guru yang juga merupakan wakil dari kepala sekolah SMP Buddhi ini tetap mengusahakan pengadaan dari Warung tersebut. Walaupun beliau mengaku sempat putus asa akan keberhasilan warung tersebut, namun dengan mulai memberikan pengarahan kepada siswa-siswi mengenai pentingnya bersikap jujur, Warung Kejujuran akhirnya berangsur-angsur menjalankan fungsinya. Sejak bulan Maret 2010 siswa-siswi SMP Buddhi pun mulai jujur dalam membeli barang-barang di Warung Kejujuran.

ibu HJ.Sabihah Spd dengan warung yang dikelolahnya

ibu HJ.Sabihah Spd dengan warung yang dikelolahnya

Inilah pentingnya menanamkan nilai-nilai dan melatih kejujuran kepada anak-anak dari sejak dini, masa depan bangsa kita ada di tangan mereka—anak-anak dan murid-murid kita. Selama warung kejujuran ini tetap bertahan di sekolah Buddhi, selama itu pula siswa-siswi SMP Buddhi mampu untuk berkata dan bersikap jujur, dan seharusnya koruptor di sana malu dengan mereka yang masih muda dan mampu untuk tidak berbohong serta mencuri ataupun korupsi.

Sumber

Wawancara Ibu HJ. Sabihah Spd.

http://inimu.com/berita/2009/11/18/cpi-2009-tingkat-korupsi-indonesia-masih-menonjol/

KEYAKINAN DAN BUNGKUSNYA


Ketika ditanya mengapa Anda beragama Buddha? Mungkin saya takkan pernah bisa menjelaskan dengan muluk-muluk mengapa saya beragama Buddha dan memilih agama Buddha sebagai agama saya. Mungkin hal itu wajar saja, karena untuk memeluk suatu agama terkadang orang umumnya melihat bungkus luarnya terlebih dahulu tanpa tahu isi dalamnya seperti apa. Sama seperti contoh halnya yang saya lakukan dulu. Kalau kembali ke masa lalu, rasanya Anda mungkin tak percaya kalau orang seperti saya memutuskan untuk memeluk agama Buddha hanya karena hal-hal yang sepele saja. Tapi jika dipikirkan lebih lanjut, toh itu adalah sesuatu hal yang wajar dan manusiawi. Karena pada dasarnya kebutuhan orang beragama adalah untuk mengatasi rasa takut dan menambah kebahagiaan di dalam hidupnya. Begitu pulalah alasannya, mengapa saya beragama Buddha.

Beragama Karena Kenyamanan

Dulu ketika kecil, sebenarnya saya sempat menjadi seorang Buddhis yang rajin datang ke wihara untuk sekolah minggu. Namun sayangnya, karena masalah SDM (Sumber Daya Manusia) di dalam organisasi, maka wihara tempat saya kebaktian itu pun tidak lagi beroperasi. Otomatis kemudian beralihlah saya ke agama lain berkat ajakkan tetangga saya yang kebetulan aktif sebagai pengurus di tempat ibadah tersebut. Waktu itu umur saya sekitar 6 tahun, dan sejak saat itu saya pun menjadi seorang penganut yang rajin. Di hari kebaktian saya akan berpakaian rapih, bahkan lebih pagi datang ke rumah sahabat saya untuk menungguinya mandi dan pergi bersama-sama. Kegiatan setiap minggu itu saya lakukan dengan begitu antusias, namun tak pernah tahu apa yang sebenarnya saya tuju dan perbuat. Yang saya tahu, saya merasa gembira dan nyaman bila berkumpul, dan bermain bersama dengan kakak pengurus serta teman-teman di sana. Karena kenyamanan itulah yang membuat saya mampu bertahan selama kurang lebih 6 tahun lamanya. Mungkin inilah alasannya mengapa setiap orang bisa langeng dengan keyakinannya, yaitu merasa nyaman dan bahagia. Benar pula adanya kalimat yang mengatakan bahwa agama adalah suatu kecocokan. Untuk itu perlu dan penting sekali di dalam Buddhisme dilakukan pengembangan sistem di mana para umat merasa nyaman dengan kondisi dan suasana kebaktian, khususnya untuk kebaktian sekolah minggu di wihara.

Mungkin Sudah Jodoh

Seiring bertambahnya usia, ada satu kerinduan di dalam diri saya untuk datang lagi ke wihara. Hal ini dikarenakan di tempat saya bersekolah ketika SD tidak diajarkan agama yang saya anut, maka mau tidak mau saya pun harus mengikuti pelajaran agama Buddha, dan rupanya saya lumayan berprestasi dengan pelajaran tersebut. Namun kerinduan itu tidak begitu saja memudarkan kesetiaan saya terhadap agama yang saya anut itu, sampai akhirnya keyakinan saya mulai tergoyahkan ketika meninggalnya nenek saya di umur saya yang ke 9 tahun. Kecintaan saya terhadap nenek saya membuat saya ingin lebih menghormatinya, dan menurut saya sembahyang adalah salah satu bentuk penghormatan saya kepadanya saat itu. Namun di dalam agama saya, saya tidak diperbolehkan untuk sembahyang sesuai dengan tradisi yang dijalankan, seperti memegang ‘hio’ misalnya. Hal inilah yang kemudian membuat saya memutuskan untuk mencoba kembali lagi datang ke wihara, hanya berharap bisa melakukan ritual penghormatan kepada nenek saya.

Takut Mati

Keinginan untuk kembali datang ke wihara rupanya memerlukan waktu yang cukup lama. Di tengah-tengah penantian itu ada cerita lucu yang membuat saya akhirnya kembali lagi aktif datang kebaktian di tempat ibadah agama saya yang dulu. Ketika itu di daerah tempat saya tinggal sedang dihebohkan oleh penyakit demam bedarah. Saya yang masih duduk di SMP kelas 2, saat itu sedang asik bermain sendiri di sebuah lapangan yang dipenuhi rumput dan barang-barang bekas termasuk ban mobil yang terisi air hujan di dalamnya. Saat itu ada seekor nyamuk yang penampilannya lain dari nyamuk-nyamuk umumnya datang menggigit saya, dan dengan spontan saya meyakininya sebagai seekor nyamuk demam berdarah. Otomatis kegelisahan dan ketakutan menyelimuti diri saya, disertai pikiran bahwa saya akan segera mati. Ketakutan akan kematian itulah yang membuat saya berdoa kepada Tuhan saya untuk berjanji datang lagi kebaktian jika saya diberikan kesempatan untuk hidup. Ternyata benar saja saya masih hidup dan mau tidak mau saya harus menepati janji yang sudah saya katakan di dalam hati. Kembalilah saya ke tempat ibadah itu, setelah sekian lama tidak datang kebaktian. Sekembalinya saya seperti biasa disambut hangat oleh kakak pengurus, bahkan dia pun menyempatkan waktunya untuk mampir ke rumah saya. Sungguh merupakan awal kesan dan bentuk penerimaan yang luar biasa, otomatis keluarga saya pun merasa tersentuh dan terperhatikan. Namun untungnya teman-teman semasa kecil saya di sana sudah tidak terlalu lagi mengenali saya, dan karena itulah saya merasa kesepian, lalu tidak lama kemudian memutuskan untuk tidak lagi datang kebaktian. Kalau saja teman saya bersikap baik saat itu, mungkin sampai saat ini saya tidak akan mengenal Buddhisme J. Sementara saya yang sudah tidak lagi aktif, sahabat saya malah sungguh sangat aktif bahkan hampir saja dilegalkan menjadi seorang pemeluk sejati. Namun karena memang sudah karma, sahabat saya ini pun ditentang oleh keluarganya. Walaupun sudah ditentang keluarganya hal itu tidak membuatnya sekonyong-konyong untuk berpindah keyakinan, sampai akhirnya dia mendapatkan tugas dari sekolahnya untuk minta tanda tangan penceramah di setiap kebaktian wihara. Tugas tersebut mungkin suatu berkah bagi saya, karena dengan begitu saya punya teman untuk datang ke wihara. Itulah untuk kedua kalinya saya datang dan kebaktian di wihara dan awal kedatangan itulah yang membuat saya dan sahabat saya memutuskan untuk menjadi seorang Buddhis.

Buddhis Tapi Kok Tidak Ramah

Pada dasarnya saya ini berasal dari keluarga Buddhis tradisi yang jarang sekali ke wihara dan hanya melakukan ritual berdasarkan tradisi turun-temurun keluarga, seperti sembahyang leluhur, “Cung.. cung.. Cep” (haha..) dan lain-lain. Mungkin Karena inilah orang tua saya tidak pernah melarang anaknya untuk pergi kebaktian ke tempat ibadah yang berbeda. Tapi dengan begitu saya jadi mengerti perbedaan antara agama lain dengan agama Buddha. Ingat saya waktu pertama kali datang kebaktian ke sebuah wihara yang cukup besar dan ramai umatnya. Dulu di tempat ibadah dari keyakinan saya, biasanya saya disambut dengan senyum dan salam yang menghangatkan. Tetapi di wihara itu saya seperti orang asing yang tak tahu apa-apa dan tak ada satu pun makhluk yang menyapa saya. ‘Oh.. begini rupanya sebuah wihara dan umat Buddha memperlakukan sesamanya’, pikir saya. Untungnya hal ini tidak mengurungkan niatan saya untuk terus datang kebaktian, karena memang saya pun selalu datang dengan sahabat saya. Setelah saya pikirkan sekarang, mungkin inilah salah satu faktor mengapa agama Buddha dulu kurang diminati oleh banyak orang, karena memang bungkus dan pelayanannya yang kurang menarik. Menyapa umat yang datang saja, sebenarnya sudah merupakan bentuk perhatian yang didasari oleh kasih sayang. Namun tentunya sebagai seorang Buddhis sejati akan sangat disayangkan, jika pelayanan semacam ini saja tidak didasari dengan kasih sayang. Mengingat Buddha mengajarkan kasih sayang yang luar biasa, bahkan kasih sayang itu diberikan kepada semua makhluk. Akan tetapi itu dulu, mungkin sekarang zamannya sudah berubah. Saat ini jika saya kembali datang kebaktian di wihara tersebut, sudah terlihat para petugas PU (Pelayanan Umat) dengan ramah menyapa umatnya. Hanya saja memang masih ada beberapa tempat kebaktian yang masih mempertahankan sistem lama, dengan cara cuek atau acuh terhadap umatnya yang datang kebaktian. Untuk itu walaupun isi dalamnya bagus luar biasa, namun tak ada salahnya memperbaiki bungkus luarnya agar terlihat lebih menarik yaitu dengan meningkatkan pelayanan dan hubungan sosial yang baik.

Pernah diterbikan di Majalah Warta Dharma Ratna Edisi Asadha 2553/2009 no.27

Thanks to My Parents and Ancestors

Bangkai Tikus


Kekesalan ini membawaku kepada kemarahan. Beberapa hari yang lalu di kamarku terjadi sesuatu yang menghebohkan. Di sore hari ketika aku sedang menikmati istirahatku tiba-tiba adik perempuanku berseru sambil memprotes dan memecahkan keheningan tidur soreku. “Bau..” begitu katanya, kamarku bau tikus mati alias bangkai tikus. Aku yang akhirnya terbangun dari tidurku berusaha dengan keras menarik nafas, mencari tahu kebenaran kata-kata adik perempuanku. “Mana, ga bau kok!”, seruku sambil mengendus-enduskan hidungku. Lalu, karena sudah terbangun dari tidur, tak ada lagi yang dapat aku lakukan di kamarku selain berbaring. Namun karena bosan dan tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat aku pun beranjak meninggalkan kamar tidurku dan lari ke ruang tamu. Aku duduk dengan tenang sambil menonton televisi acara reality show. Beberapa saat kemudian perut ini terasa lapar dan meminta jatah hariannya. Aku pun mengisi perut ini tanpa lagi memikirkan si bangkai tikus yang bau itu, yang sedang menyebarkan kebauannya di dalam ruangan kamarku yang cukup kecil itu. Selesai bersantap sore, sekali lagi aku diributkan oleh gerutuan-gerutuan adik perempuanku persoalan bau yang masih saja sama. “Kenapa masih saja menggerutu! Ya, dicari dong di mana bangkai tikusnya.” kataku sambil menghampirinya. “Besok aja, udah sore ribet.” Jawab adikku enteng. “Kalau ntar mau tidurnya bau-bauan, ya udah!” seruku cuek. Lalu ketika berpikir sejenak, adikku ini pun masuk ke dalam rumah, dan tak lama kemudian ia pun berteriak memanggilku, “Kak, cepetan sini bantuin aku dong!” Ternyata seketika pikirannya pun berubah, tak mau menunggu waktu yang ada untuk menyelesaikan permasalahan bau yang mengganggunya. Apalagi tidur bersama dengan bau yang menyengat dan membangkitkan selera untuk marah-marah menyalahkan tikus yang sudah mati itu.

Sedikit demi sedikit dan satu persatu dikeluarkannya barang-barang yang ada di kamar tempat tidur kami itu. Mulai dari meja kecil, rak-rak buku, kardus-kardus bekas miliknya yang ternyata sudah tak terpakai lagi sampai dengan lemari yang kurang lebih isinya buku-buku dan barang-barang lainnya pun mendapat giliran untuk berpindah dari tempatnya. Setelah sebagian besar dari barang-barang tersebut sudah keluar dari kamar, seketika bau bangkai tikus itu pun sudah tidak tercium lagi di dalam kamar kami, melainkan pindah menyebarkan aromanya di ruang tamu tempat kami menaruh barang-barang tersebut. Sebagian dari orang-orang di rumahku mulai heboh, ada yang berpendapat ini dan itu, ada yang mengusulkan ini dan itu. Namun tak satu pun dari mereka yang turun tangan untuk membantu, karena takut akan melihat bangkai tikus yang jelas-jelas sudah tentu mati. Dengan gerutuan yang masih saja mendesis, di tambah lagi dengan rasa sedikit takut dan geli, adikku pun perlahan-lahan mencari-cari bangkai tersebut. Dibongkar dan dipisahkannya barang-barangnya yang sudah tak terpakai itu untuk dikumpulkan. “De, lebih baik barang-barang yang tak dipakai itu dibuang saja, atau kalau ada barang yang masih layak pakai tapi tidak dibutuhkan lagi lebih baik dikasih orang saja!” teriakku sambil membersihkan barang-barang yang ada di dalam kamar dan merasa kesal mendengar gerutuan-gerutuan adikku yang tak ada habisnya itu, ‘Bukannya di cari malah menggerutu terus’ pikirku. Saat itu kemarahan pun mulai timbul dan hampir memecahkan pengendalian diriku. Terlebih lagi melihat kamar kami yang memang agak sedikit berantakan karena sudah lama tidak mengalami pembersihan besar-besaran membuat beban pikiranku semakin bertambah. Mengapa selama ini masing-masing dari kami selalu saja melemparkan tugas dan tanggung jawab untuk membersihkan kamar tersebut, saat itu aku mulai menyesalinya.

Satu persatu barang yang sudah tak bermasalah dan tak ada bangkai tikus di dalamnya dimasukkan kembali ke dalam kamar, begitu juga dengan barang-barang yang tak terpakai, dikumpulkan dan dibuang ke dalam tong sampah. Dengan begitu akan semakin mudahlah pencarian bangkai tikus kami. Sampai akhirnya teriakan histeris pun terdengar di tengah-tengah ruang tamu. “Ah..ah.. ka, ini-ini bangkainya sudah ketemu!”, seru adikku sambil meringis kegelian dan menunjuk-nunjuk ke arah bangkai tersebut. Bangkai dari anak tikus yang baunya dipermasalahkan itu bersembunyi di dalam keranjang tumpukan pakaian kotor. Seketika rasa kesal kami pun lenyap bersamaan dengan dibuangnya bangkai tikus kecil yang menyebarkan bebauannya itu, sebau rasa kesal kami yang akhirnya menyebabkan kemarahan. Dengan begitu, kamar kami pun terbebas dari bau-bau yang menyengatkan. Namun, tidak dengan pikiran kami yang masih suka terusik dengan kekesalan dan kemarahan hanya karena bau dari bangkai seekor tikus

Sesungguhnya bangkai tikus itu seperti kekotoran batin di dalam diri kita yang harus dibersihkan. Untuk membersihkannya kita harus sabar dan perlahan-lahan mencari tahu dan mengenali si kekotoran batin tersebut hingga akhirnya bisa kita bersihkan yaitu dengan belajar dan berlatih atau mempraktikannya. Di dalam pelatihan dan pembelajaran itu, kita akan banyak menemukan hal atau ajaran dan orang-orang yang akan memberikan petunjuk dan saran-saran. Akan tetapi, tak banyak dari mereka yang bisa dan mau turun tangan untuk membantu kita dalam membersihkannya. Kita sendirilah yang harus lebih giat berusaha dan tidak selalu menggantungkan diri terhadap makhluk lain. Selain itu juga akan ada banyak ajaran-ajaran yang mengaku kebenaran, yang mendorong kita untuk berpikir lebih bijaksana. Hingga akhirnya kekotoran batin tersebut bisa kita buang dari batin ini dan kebahagiaan pun akan datang mengisinya. Namun, jangan sampai bau dari bangkai tikus itu kembali merusak kebahagiaan kita.

Pernah diterbitkan oleh majalah Warta Dharma edisi Waisak 2553 BE/2009 no.26

Thanks to My Family MoM, Alm.Dad, and my sisters &Friends