SANDAL JEPIT


Dasar penilaian manusia di masyarakat memang tidak lepas dari yang namanya penampilan. Walaupun ada pepatah yang mengatakan ‘Don’t judge the book by its cover’ yang artinya jangan menilai buku dari sampulnya, tetapi tidak dapat dipungkiri kalau penampilan memang berperan penting dan diutamakan oleh kebanyakan orang. Contohnya saja dalam melamar suatu pekerjaan atau pada saat interview, tentu AWAL penilaian seorang calon karyawan itu umumnya diberikan berdasarkan dari penampilannya, mulai dari tata rias, cara berpakaian dan lain sebagainya. Hal itulah yang nantinya akan menentukan keputusan selanjutnya (masuk kriteria atau tidak), kecuali memang jika calon karyawan tersebut memang benar-benar ahli, berbakat, dan sangat dibutuhkan. Kemudian mengenai penampilan, sering juga kita temui beberapa catatan kaki di sebuah undangan seminar-seminar, acara talk show ataupun acara-acara resmi lainnya baik keagamaan maupun yang non keagamaan, yang mengatakan kepada pengunjung untuk memakai pakaian yang rapih, sopan, dan tidak lupa di situ juga tertera tidak mengenakan sandal jepit. Lalu apakah ada yang salah dengan sandal jepit?

Penulis sendiri adalah orang yang agak cuek dalam berpenampilan dan bahkan terkadang ekstrim (berpakaian sederhana mungkin, tak peduli apapun acaranya). Walaupun begitu bukan berarti penulis tidak bisa berpakaian rapih dan sopan, hanya terkadang penulis lebih memilih berpakaian yang nyaman daripada memakai sesuatu yang wah, keren, atau modis tapi malah membuat diri penulis kurang merasa nyaman. Beberapa waktu lalu penulis harus menghadiri sebuah seminar. Kebetulan saat itu sehabis pulang buka stan pengumpulan dana, penulis tidak punya waktu untuk pulang dan berganti pakaian. Lagi pula jika harus pulang bolak-balik dan akan menghabiskan waktu, tenaga serta ongkos perjalanan, penulis pikir akan lebih efektif jika langsung menuju tempat seminar. Jadi, dengan berpakaian seadanya dan beralaskan kaki sandal jepit, penulis pun akhirnya berangkat ke seminar itu dengan seorang teman. Sesampainya di tempat seminar, penulis disambut dengan hangat dan dipersilakan masuk, bahkan diantar sampai tempat duduk yang posisinya strategis. Penulis merasa beruntung, walaupun bukan tamu undangan khusus atau VIP, penulis dapat duduk tak jauh dari panggung. Bagaimana tidak, panitia yang mengantarkan itu adalah teman penulis. Seminar itu berlangsung dengan sangat luar biasa, bahkan penulis sempat menanyakan beberapa buah pertanyaan kepada para pembicara, dan mungkin saat itulah bisa dikatakan secara tidak langsung penulis sudah menjadi pusat perhatian hampir seluruh pengunjung yang ada diruangan itu. Pada saat seminar hampir berakhir, teman penulis yang juga panitia acara ini menghampiri penulis. Kemudian, secara langsung ia menegur penulis dengan halus, ia bilang “Lain kali jangan pakai sandal jepit ya!” Wah tanpa bertanya terlebih dahulu alasannya penulis sudah mendapatkan memo merah dari panitia, yang untungnya masih teman penulis sendiri. Tapi akhirnya setelah mendengarkan penjelasan dari penulis, si panitia ini pun minta maaf, karena sebenarnya dia pun tidak bermaksud untuk menegur penulis, dan ternyata ada dari pengunjung lain yang mempertanyakan kepadanya, kenapa orang itu (penulis) pakai sandal jepit kok boleh masuk! Dengan segera penulis membaca catatan kaki yang tertulis di undangan yang baru saja diberikan hari itu juga, oh ternyata tertera catatan kecil dilarang pakai sandai jepit. Lalu ada apa dengan sandal jepit!?

Sebelum kejadian ini pun, penulis sering sekali mendapatkan kritikan dari beberapa orang teman mengenai masalah sandal jepit. Ada dari mereka yang berkata, kalau sandal jepit itu tak layak dipakai untuk berpergian, cocoknya buat ke toilet. Dia bahkan menganjurkan penulis untuk tidak memakai sandal jepit itu lagi. Lalu dari orangtua penulis sendiri pun, sering memberikan nasihat untuk tidak memakai sandal jepit, dengan alasan yang kurang lebih sama, yaitu tidak bagus buat berpergian. Memang setiap saran dan kritikan yang diberikan tidaklah salah, malahan hal tersebut merupakan wujud dari kepedulian mereka. Akan tetapi, apa ada yang salah dengan sandal jepit?!

Kalau Anda berpendapat memakai sandal jepit modelnya tidak keren atau tidak bagus, mungkin Anda benar. Kalau Anda berpendapat bahwa memakai sandal jepit di acara-acara resmi tidak pas dengan penampilan Anda, mungkin pendapat Anda benar menurut Anda. Kalau dikatakan bahwa sandal jepit tidak sesuai dengan mode zaman sekarang, kemungkinan juga memang benar. Tetapi kalau Anda bilang memakai sandal jepit itu tidak sopan, Anda salah besar. Apakah batas kesopanan seseorang dinilai dari sandal jepit!? Lagi pula kalau dilihat dari asal mula dan manfaat sandal jepit itu sendiri, apalah artinya beralas kaki bagus sekali pun, toh dasar tujuan dan manfaat kegunaannya sama. Zaman dahulu sebelum munculnya alas kaki bagus, bermodel, dan berharga mahal seperti sekarang ini, tentu sandal jepit yang baru pertama kali diketemukan amatlah populer dikalangan masyarakat pada saat itu. Tetapi di sini kita tidak akan berbicara mengenai sejarah sandal jepit dan sebagainya, apalagi membicarakan kesalahan saya perihal tak sengaja memakai sandal jepit di acara seminar. Akan tetapi, mari kita perhatikan bagaimana cara kita memandang dan menilai sesuatu. Terkadang kita terlalu berpikir picik terhadap sesuatu, kita terlalu mengutamakan suara yang terbanyak adalah suara yang paling baik dan benar. Tradisi yang turun-temurun adalah yang paling baik dan benar. Gaya hidup populer yang sedang digandrungi adalah yang paling baik dan benar. Apa kata orang pintar, terkenal, kaya raya, berwibawa, atau berpengaruh adalah yang paling baik dan benar. Kalau kita menilai sesuatu berdasarkan itu semua, terlebih lagi berdasarkan penampilan, kita tidak akan pernah tahu dan mengerti akan kebenaran yang sesungguhnya.

Buddha Gautama sendiri pernah berkata kepada Kaum Kalama mengenai bagaimana sesuatu itu dianggap benar, Buddha berkata :

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan wahyu atau pemaparan,

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan tradisi turun temurun,

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan kabar angin,

“Jangan percaya kepada apapun karena hal itu sesuai dengan kitab-kitab suci,

“Jangan percaya kepada apapun hanya berdasarkan logika,

“Jangan percaya kepada apapun karena sekilas hal itu tampak benar,

“Jangan percaya kepada apapun hanya melalui alasan yang masuk akal

“Jangan percaya kepada apapun karena disokong sejumlah materi

“Jangan percaya kepada apapun karena tampaknya demikianlah yang akan terjadi

“Jangan percaya kepada apapun hanya karena berpikir orang itu adalah petapa yang dihormati. Namun, bila kalian sendiri tahu bahwa sesuatu itu, tidak pantas untuk dilakukan, tercela dan dikecam oleh para bijaksana, bila hal-hal itu dilakukan dan diupayakan akan menuntun menuju kemudaratan (tidak baik atau merugikan) serta penderitaan, maka tinggalkanlah hal-hal itu.”

Ini berarti untuk mengetahui kebenaran sesungguhnya, kita jangan mudah percaya pada apa pun (termasuk ucapan saya) sebelum membuktikan terlebih dahulu kebenarannya itu secara bijaksana, (Ehipassiko) datang, lihat dan buktikan.
Maksud dari ehipassiko itu sendiri mengajarkan kita untuk tidak memandang dari satu sisi saja. Seperti halnya pengunjung dan panitia seminar yang mempersoalkan masalah sandal jepit. Kalau Anda menilai orang yang memakai sandal jepit tidak sopan, berdasarkan karena sandal jepit sehari-harinya digunakan untuk ke toilet, Anda sudah memandang dari satu sisi. Kalau Anda berpikir orang yang memakai sandal jepit tidak sopan berdasarkan karena nilai sandal jepit di mata mode, penampilan, gaya hidup zaman sekarang dikatakan tidak layak untuk dipakai ke tempat-tempat resmi atau mewah, Anda juga hanya memandang dari satu sisi. Lalu, jika Anda juga menilai orang yang memakai sandal jepit tidak sopan berdasarkan karena memang kebanyakan orang berkata dan berpendapat demikian, berarti Anda pun hanya memandang dari satu sisi saja.

Kalau Anda memandang dan menilai dari berbagai sisi, mungkin Anda tidak akan pernah berpikir kalau seseorang yang memakai sandal jepit dalam seminar atau acara resmi lainnya tidaklah sopan. Karena tentunya Anda juga akan melihat hal tersebut dari sisi lainnya, dari sisi yang berbeda yaitu dari segi manfaat dan kegunaan alas kaki itu sendiri, memandang dari segi alasannya, atau bahkan yang lebih ekstrim lagi Anda akan melihat dari segi sejarah dimana manusia awalnya tidak beralas kaki, dan kalau sudah begitu apalah artinya sepasang alas kaki!?

Janganlah menilai buku dari sampulnya sebelum Anda membacanya, seperti juga halnya menilai seseorang dari penampilannya sebelum Anda tahu siapa dia dan mengapa berpenampilan seperti itu. Karena setiap orang terkadang punya alasan sendiri mengenai penampilannya. Bagi penulis sendiri, penulis lebih nyaman memakai sandal jepit ketimbang memakai sandal mewah dengan hak tinggi yang terkadang malah dapat memperlambat ruang gerak penulis.

Sandal Jepit yang Positif

Penulis menuliskan hal tersebut bukanlah dengan maksud untuk membenarkan ataupun menyalahkan pemakaian sandal jepit pada saat acara-acara resmi, yang memang terkadang memberi aturan bagi para pengunjungnya untuk tidak memakai sandal jepit. Memang ada kalanya aturan itu dibuat agar acara tersebut lebih terlihat profesional dan benar-benar resmi. Akan tetapi, aturan tersebut berdampak seolah-olah orang yang berpenampilan tidak rapih atau pemakai sandal jepit adalah tidak sopan. Namun, itu semua kembali lagi tergantung dari cara pandang dan penilaian masing-masing individu. Cara Buddha sendiri dalam memberikan aturan tidak pernah memakai larangan atau tidak diperbolehkan, tetapi lebih cenderung mengutarakan sebab dan akibatnya. Ini berarti dijalankan atau tidak itu semua adalah keputusan dari individu itu sendiri, hasil atau akibat dialah yang akan menanggungnya. Namun tidaklah baik jika kita berpikiran negatif terhadap orang yang melanggar aturan. Sudah pernah dengar cerita tentang tentang seorang bhikkhu yang melanggar aturan/winaya, karena telah menggendong seorang perempuan guna menyelamatkan/menolong perempuan tersebut menyeberang sungai? Kalau kita melihat si bhikkhu dari sisi pelanggaran winayanya karena telah menggendong seorang perempuan, tentunya kita akan berpikiran negatif terhadap si bhikkhu. tetapi, kalau kita melihat maksud dan tujuan dari si bhikkhu yang menggendong perempuan tersebut, yang tak lain adalah untuk menolong dan menyelamatkan nyawa si perempuan. Tentunya pikiran positiflah yang akan muncul. Seperti halnya pula ketika kita melihat orang yang memakai sandal jepit dalam acara resmi yang tidak memperbolehkan pakai sandal jepit. Dari segi aturannya tentu kita akan berpikiran negatif, menyalahkan atau bahkan mungkin tidak memperbolehkan orang tersebut masuk. Namun jika kita melihat fungsi dan kegunaan dari alas kaki itu sendiri serta lebih menghargai niat dan maksud baik orang itu, tentunya kita tidak akan merasa terganggu oleh masalah tersebut, karena pikiran positif lah yang sedang berkembang di dalam diri kita.

Akan tetapi memang kita juga tidak bisa memungkiri sistem dan aturan serta kebudayaan di dunia, mau tidak mau untuk bertahan hidup manusia harus mengikuti aturan yang ada. Seperti pribahasa mengatakan, ‘Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Namun dengan begitu jangan sampai pikiran kita dipengaruhi hanya karena penampilan seseorang. Ada satu cerita lagi yang juga dapat memberikan inspirasi bagi kita, bahwa penampilan bukanlah segalanya. Apakah Anda pernah membaca atau mendengar cerita tentang seorang anak yang merengek minta dibelikan sepasang sepatu baru oleh ibunya? Namun apa yang terjadi, ketika si anak tidak henti-hentinya merengek, si anak melihat seseorang tanpa kedua kakinya. seketika itu keinginannya pun untuk membeli sepasang sepatu baru terhempas dan si anak terdiam. Dengan demikian, apalah arti sepasang sandal jepit???

Penulis,

Selfy Parkit’2008

One thought on “SANDAL JEPIT

Leave a comment