Kata… jika anda membaca empat huruf itu, apa yang ada di benak anda??? Komunikasi! Ya anda benar, kata adalah bagian dari komunikasi. Sambungan-sambungan kata mampu menjembatani insan di dunia untuk berkomunikasi dan menyatakan maksud hati. Kata-kata berasal dari susunan banyak huruf dan membentuk sebuah kalimat, kalimat membentuk sebuah paragraf dan akhirnya disebut sebagai bahasa. Walaupun kata dari setiap bahasa berbeda tapi pada fungsinya adalah sama yaitu untuk berkomunikasi. Arti ‘kata’ sendiri menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah “Unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa”.
Kata-kata adalah hal yang sangat berpengaruh di kehidupan ini. Baik secara lisan dan tulisan, kata-kata sudah menghidupkan dunia ini menjadi sedemikian rupa. Kata-kata bisa menjadi penyebab perdamaian, juga penyebab peperangan. Kekuatan kata-kata mampu memberikan inspirasi dan motivasi bagi setiap individu, namun juga bisa menjadi penyebab penderitaan. Mengapa kata-kata dapat memberikan inspirasi, motivasi dan kebahagiaan, juga sebaliknya mampu menyebabkan peperangan dan penderitaan? sedasyat itukah kekuatan dari kata-kata? Tentunya bukan kata-katalah yang secara penuh menyebabkan itu semua, namun persepsi dari masing-masing individulah yang menentukan akan dibawa ke mana pengertian dari sebuah kata tesebut. Tidak dipungkiri bahwa kadang kala manusia salah paham dalam mengartikan dan menanggapi kata-kata.
Selama berabad-abad kehidupan, pertikaian, peperangan, hubungan manusia satu dengan lainnya tidak lepas dari kesalapahaman kata-kata, keliru ataupun salah paham karena tidak saling mau terbuka dan mengungkapkan isi hati yang sesungguhnya secara langsung. Manusia mempunyai pengertian sendiri terhadap sesuatu, hidup di dunianya sendiri, tanpa orang lain dapat mengetahui isi di dalamnya. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan kekeliruan, karena daya tangkap dan persepsi manusia masing-masing berbeda.
Untuk membuktikan itu semua, ada sebuah kisah nyata yang menarik. Cerita ini dituturkan oleh Ven. Zen Master Thich Nhat Hanh, pada kesempatan ceramahnya. Kisah ini tentang Tuan Truong, yang terjadi di negara Vietnam ratusan tahun yang lalu, dan setiap orang di sana kebanyakan sudah mengetahui kisah ini. Tuan Truong adalah seorang pria yang masih muda belia, dan harus mengikuti wajib militer. Sehingga dia menjadi tentara dan pergi berperang meninggalkan istrinya yang sedang hamil sendirian di rumah. Mereka menangis cukup lama saat berpisah dan tidak tahu apakah si suami akan pulang dengan selamat, mengingat bahwa pergi berperang sangatlah berisiko. Namun pria muda tersebut cukup beruntung, dia selamat.
Beberapa tahun kemudian ia dibebastugaskan dan istrinya sangat gembira mendengar kabar bahwa suaminya akan pulang. Dia pergi ke pintu gerbang desa dan menyambut suaminya, ditemani anak laki-lakinya yang masih kecil. Anak kecil itu dilahirkan saat ayahnya masih bergabung dengan pasukan militer. Pada saat mereka bertemu kembali, mereka menangis dan saling berpelukan, menitikan air mata kegembiraan. Mereka sangat bersyukur, pria muda tersebut selamat dan pulang ke rumah bersama.
Berdasarkan tradisi, mereka harus membuat persembahan di altar leluhur untuk memberitahukan para leluhur bahwa keluarga telah bersatu kembali. Pria itu meminta istrinya pergi ke pasar untuk membeli bunga, buah-buahan dan barang persembahan lain yang diperlukan. Pria itu membawa anaknya yang baru pertama kali dia lihat, pulang dan mencoba membujuk anaknya untuk memanggilnya ‘ayah’. Tetapi anak tersebut menolak, “Tuan kamu bukanlah ayah saya, ayah saya adalah orang lain. Ia selalu mengunjungi kami setiap malam, dan setiap kali Ia datang ibu saya akan berbicara dengannya lama sekali. Saat ibu duduk ayah saya juga duduk, saat itu tidur, Ia juga tidur. Jadi kamu bukanlah ayah saya.”
Ayah muda tersebut sangat sedih, sangat terluka. Ia membayangkan ada pria lain yang datang ke rumahnya setiap malam dan menghabiskan waktu semalaman dengan istrinya. Semua kebahagiaan lenyap seketika. Kebahagiaan datang sangat singkat, diikuti dengan ketidakbahagiaan. Ayah muda tersebut sangat menderita sehingga hatinya menjadi sebongkah batu dan sedingin es. Ia tidak dapat lagi tersenyum dan menjadi sangat pendiam. Ia sangat menderita, dan istrinya yang sedang berbelanja tidak tahu sama sekali mengenai hal itu. Sehingga sewaktu dia pulang ke rumah, dia sangat terkejut. Suaminya tidak mau menatap wajahnya lagi, tidak mau berbicara dan menjadi sangat dingin seakan-akan ia memandang rendah istrinya. Perempuan itu tidak mengerti, mengapa? Sehingga sang istri pun mulai menderita.
Setelah persembahan selesai dibuat, perempuan tersebut meletakkannya di altar. Suaminya menyalakan dupa, berdoa kepada leluhur, membentangkan tikar, melakukan empat sujud dan memberitahukan bahwa ia sudah pulang ke rumah dengan selamat dan kembali ke keluarganya. Setelah selesai ayah muda tersebut menggulung tikar, dan tidak mengizinkan istrinya melakukan hal yang serupa, karena ia berpikir bahwa istrinya tidak pantas untuk menampakan dirinya di depan altar para leluhur. Perempuan muda itu kemudian merasa malu, “terhina” karena peristiwa itu, dan dia menderita lebih dalam lagi. Menurut tradisi, setelah upacara selesai mereka harus membereskan persembahan. Keluarga tersebut harus duduk, menikmati makanan dengan suka cita dan kegembiraan; tetapi pria muda tersebut tidak melakukannya. Setelah ritual persembahan, pria muda tersebut kemudian pergi ke desa, dan menghabiskan waktunya di kedai arak. Pria muda tersebut mabuk karena ia tidak dapat menanggung penderitaannya. Ia tidak pulang ke rumah hingga larut malam, sekitar pukul satu atau dua dini hari ia baru pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Ia mengulangi perbuatannya tersebut hingga beberapa hari, tidak pernah berbicara dengan istrinya, tidak pernah menatap istrinya, tidak pernah makan di rumah. Perempuan muda tersebut sangat menderita dan dia tidak dapat menanggungnya. Pada hari keempat dia melompat ke sungai dan mati. Dia sangat menderita, pria tersebut juga sangat menderita. Tapi tak seorang pun dari mereka berdua yang datang pada salah satu pihak dan meminta bantuan karena “harga diri”.
‘Saat anda menderita anda yakin bahwa penderitaan anda disebabkan oleh orang yang paling anda cintai, anda lebih suka menderita sendiri’. Manusia lebih mementingkan ego dan harga diri, ketimbang mengatakan apa yang dideritanya. Padahal manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Membutuhkan kasih, perhatian dan pertolongan, terluka dan butuh didengarkan. Hanya dengan mengatakan apa yang dirasakannya padahal manusia sudah dapat menyelesaikan tahap awal penyembuhan deritanya, saling mengungkapkan isi hati, maksud yang sesungguhnya dan derita masing-masing. Namun ‘harga diri mencegahmu menemui orang lain dan meminta bantuan. Kalau saja saat itu sang suami menemui istrinya? Situasinya mungkin akan berbeda.
Malam itu, ia harus tetap tinggal di rumah karena istrinya sudah meninggal dunia, untuk menjaga anak laki-lakinya yang masih kecil. Ia mencari lampu minyak tanah dan menyalakannya. Saat lampunya menyala, tiba-tiba anak kecil itu berteriak: “Ini dia Ayahku!” dia menunjuk bayangan ayahnya di dinding. “Tuan, ayahku biasanya datang tiap malam dan ibu berbicara banyak dengannya, dia menangis di depannya, setiap kali ibu duduk, ayah juga duduk. Setiap kali ibu tidur, ayah juga tidur.”
Jadi, ‘ayah’ yang dimaksudkan anak tersebut hanyalah bayangan ibunya. Ternyata, perempuan itu biasanya berbicara dengan bayangannya setiap malam, karena dia sangat merindukan suaminya. Suatu ketika anaknya bertanya kepada ibunya: “Setiap orang di desa memiliki ayah, kenapa aku tidak punya?” sehingga pada malam tersebut, untuk menenangkan anaknya, sang ibu menunjuk bayangannya di dinding, dan berkata, “Ini dia ayahmu!” dan ia mulai berbicara dengan bayangannya. “Suamiku sayang, kamu sudah pergi begitu lama. Bagaimana mungkin aku membesarkan anak kita sendirian? Tolong, cepatlah pulang sayang.” Itulah pembicaraan yang sering ia lakukan. Tentu saja, saat dia lelah, ia duduk, dan bayangannya juga duduk. Sekarang ayah muda tersebut mulai mengerti. Persepsi keliru sudah menjadi jernih, tetapi semua itu sudah terlambat; istrinya sudah mati.
Dari kisah di atas timbul pertanyaan, apakah kejadian itu disebabkan oleh si anak dan kata-katanya? Walaupun memang benar si anak yang mengatakan kata-kata tersebut, namun jika kita renungkan lebih dalam, ketidaksamaan persepsilah yang menyebabkan kejadian tersebut. Persepsi yang kita buat, yang terbentuk dari pengertian kata di dalam pikiran kita dan dunia di kepala kita.
‘Persepsi yang keliru dapat menyebabkan banyak penderitaan dan kita semua mengalami persepsi yang keliru setiap harinya. Seperti yang disabdakan oleh Buddha, “Kita hidup dengan persepsi keliru setiap harinya”. Untuk itu mulailah hari ini dengan saling terbuka, saling memahami antara sesama, sehingga memperkecil kemungkinan timbulnya persepsi yang keliru. Kesampingkan ego dan harga diri yang membelenggu kita, menyebabkan banyak terciptanya pertikaian dan perselisihan. Mulailah membenahi semuanya, dimulai dari diri kita sendiri agar tercipta kedamaian di antara sesama, teman, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.
Pare ca na vijªnÖti, Mayamettha yamªmase, Ye ca tattha vijªnanti, Tato sammanti medhagª. Masih banyak orang yang tidak mengerti, mengapa kita dapat binasa di dunia ini akibat perselisihan. Ia yang memahami kebenaran ini, akan dapat melenyapkan perselisihan. – Dhammapada (1:6)
Thanks to my parents and ancestor.
Sumber cerita diambil dari buku Kemilau Emas Menebar Kasih (50 tahun Vihara Vimala Dharma) – “Menyembuhkan Diri, Mengatasi Derita”.oleh Ven.Zen Master Thich Nhat Hanh.Tim Penerbit PVVD: Bandung, 2008
Pernah diterbitkan di Majalah Sinar Padumuttara edisi 7 tahun 2010
You must be logged in to post a comment.